*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
Ummik memberikan utusan kepada Mbak Ulya supaya ke ndalem. Beliau menyuruh Mbak Ulya membantu memasak Mbak Ufi dan Iza. Santri yang biasanya memasak di ndalem menyiapkan makanan santri putra sedang sakit, sudah pulang sejak kemarin.
Aku juga di dapur mengamati kedekatan ummik, Mbak Ulya, dan Iza. Aku jurinya. Ke dapur hanya jika ingin mencicipi makanan atau request masakan.
"Mbak Ulya, ndak opo-opo to sampeyan Ummik aturi masak neng pawon ngene iki?"
Terjemah: (Mbak Ulya, tidak apa-apa, kan kamu Ummik minta memasak di dapur seperti ini?)
Mbak Ulya santri yang sederhana meskipun dia aslinya seorang ning. Banyak yang tidak tahu karena sikapnya yang rendah hati, tidak mau dituakan.
"Tidak apa-apa, Mik. Abah juga sudah dhawuh ke saya."
"Pripun dhawuhe?"
Terjemah: (Bagaimana katanya?)
"Saya kalau mau rewang (membantu) di ndalem, tidak usah nunggu njenengan mengutus."
"Sebetulnya Ummik ki rodok sungkan. Mugo-mugo Ummik ndak kedosan lo. Sampeyan rido to?" Ummik memastikan.
Terjemah: (Sebetulnya Ummik itu agak sungkan. Semoga Ummik tidak berdosa lo. Kamu rida, kan)
"Insyaallah. Njenengan jangan begitu, Mik."
"Yo ndak ngono. Mbok arep piye-piye sampeyan ki putri kesayangane Kiai Karim. Lho sopo to, Mbak, sing ndak kenal karo Abahe sampeyan?"
Terjemah: (Ya tidak begitu. Walaubagaimanapun juga kamu itu putri kesayangannya Kiai Kariim. Lho siapa, sih, Mbak yang tidak kenal dengan Abahmu?)
"Masakannya terlalu asin. Siapa yang masak ini?" Aku yang bertanya. Aku ingin makan sore. Terakhir makan tadi pagi pukul delapan.
Mbak Ulya dan Mbak Ufi otomatis menunjuk Iza. Kontan pandanganku terseret ke arah Iza yang sedang menggoreng bakwan.
"Mosok asin?" (Masak asin?) ucap ummik. Ummik pun mencicipi.
"Iza?"
Iza mendekat seraya menunduk.
"Nggeh?"
"Sesok-sesok lek masak ampun kasinan."
Terjemah: (Besok-besok kalau masak jangan terlalu asin)
"Ngapunten, Bu Nyai."
"Mangke dalu pijet maneh, Za."
Terjemah: (Nanti malam pijat lagi, Za)