Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #71

Bertemu Senja

*POV Ibban Nizami

Aku menghubungi orang tua Mbak Rubia lagi. Tetapi, panggilanku selalu berakhir tanpa jawaban. Aku curiga ada yang disembunyikan. Aku tidak ingin kecolongan seperti yang Mbak Ala lakukan waktu itu. Terlebih ibuk selalu meneleponku dan menanyakan hasil lamarannya. Aku ingin memastikannya lebih dulu sebelum aku menjelaskan.

Masih dengan lampu kamar yang menyala. Pesan masuk dari Pak Iman.

"Selamat. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik."

Alisku seketika itu mengkerut. Aku meneleponnya.

📞"Assalamu'alaikum? Bukannya kamu yang dipilih?"

📞"Wa'alaikumussalam. Sore tadi Ibunya telepon saya, Mas. Saya tidak tahu gimana jelasnya. Tapi,  Ibunya bilang tidak bisa menerima lamaranku. Saya sungkan mau tanya banyak. Jadi, saya langsung mikir mungkin Mas Nizam yang dipilih. Selamat."

📞"Mbak Rubia juga tidak menerima lamaranku."

📞"Kira-kira dia kenapa, Mas? Dia di Singapura, kan, sekarang? Papahnya ada meeting di sana."

📞"Iya bener. Saya nggak terlalu paham juga. Ya mungkin dia punya alasan yang nggak bisa diceritakan."

📞"Iya. Aku paham. Ya sudah, Mas. Sory, ganggu, Mas Bro."

📞"Oke."

Dia memutus panggilan. Dulu aku memang mengatakan aku akan legowo setelah mendengar hasil lamaran. Tapi, setelah mendengarnya langsung tanpa kejelasan, meskipun suaraku dengan mudah menyahut kalimat demi kalimat Mbak Rubia di telepon tadi, aku mencemaskan kondisinya. Aku tidak langsung bisa lapang dada. Tetap ada yang mengganjal walaupun sudah kubiarkan berlalu.

Aku mencoba menelepon lagi. Aku mengusap layar handphoneku. Masih pukul delapan malam.

"Masih sopanlah untuk menelepon orang tuanya," pikirku.

Tut. Tut. Tut. Aku lega karena setelah lima detik suara panggilan itu tersambung, menit panggilan masuk pun berjalan. Suara mamanya mendahului ku sebelum aku mengucap salam. Tapi, aku bisa mendengar dengan jelas suara itu sedang tidak tenang.

"Bagaimana kabarnya Mbak Rubia, Tante?"

Suara tangis kudengar kemudian.

"Maaf, Tante. Tante sekeluarga sedang liburan atau karena ada keperluan lain?"

"Tante tidak bisa menjelaskan sekarang."

"Kenapa Tante menangis? Boleh saya tahu. Ngapunten, Tante. Saya dan Mas Iman ingin tahu alasan kenapa Mbak Rubia menolak semua lamaran kami. Saya pikir dengan Mbak Rubia menolak saya, dia menerima lamaran Mas Iman. Ada apa, Tante?" Aku memberondong dengan banyak kalimat.

Beliau diam sejenak. Aku tetap mendengar tangis lirih. Sambungan telepon akhirnya diputus.

Aku menghela napas. Berdecak. Jika mereka tidak sedang di Singapura, akan kucari mereka.

"Lebih baik aku ke rumahnya lagi."

Jaket tebal jangan sampai lupa. Ketimbang masuk angin. Tidak ada yang bisa ngerok. Motor masih di luar. Aku melenggang pergi ke rumahnya saat pintu rumah tetangga sudah banyak yang tertutup rapat.

"Semoga adiknya pulang atau aku masih bisa bertemu dengan satpam," batinku.

Motor melaju dengan kecepatan lima puluh kilometer per jam.

Dua puluh menit kemudian.

Depan rumah masih terang. Tetapi, beberapa ruangan di dalam sudah gelap. Pos satpam pun gelap.

Lihat selengkapnya