*POV Ibban Nizami
"Baik kok. Ini lo aku kasih tahu foto-foto mereka liburan."
Dia menggerakkan jarinya di atas layar. "Ini." Lalu, menghadapkan layar ponselnya padaku.
Aku meminjam ponselnya sebentar.
Ada dua belas foto yang dikirim. Ada juga. Satu buah video mereka ribet mencari angle foto di bawah patung ikon negara Singapura.
"Yang kirim Mamahmu. Mbak nggak ngirim, Yo?"
"Itu, Mas Ib, HP Mbak Bia hilang pas perjalanan menuju bandara. Jatuh di jalan. Mau nyari HP, takut ketinggalan pesawat."
"Pantesan off dari lima hari yang lalu."
"Tapi, harusnya dia tidak bisa izin selama itu kalau alasannya hanya liburan," gumamku.
"Kalo itu aku nggak paham. Tapi, Papah kemarin bilangnya seminggu di Singapura. Mungkin Kak Bia ngikut," sahut Dio.
Dio menelepon mamahnya. Tidak tersambung. Ganti menelepon papahnya. Dua kali panggilan tidak dijawab.
"Nggak bisa. Kali aja mereka istirahat."
"Kamu hanya dikirimi foto itu?"
Dio mengiyakan.
"Mas, gimana?"
"Apanya?"
"Lamaran. Kak Bia deal, kan?"
"Enggak."
"Etdah. Terus terus? Mas Iman yang dipilih?"
"Enggak juga."
"Aneh. Aneh banget, Mas. Orang aku lo tahu Kak Bia cinta banget sama kamu. Masak enggak milih kamu, Mas. Nggak milih Mas Iman juga. Ini aneh lo. Kak Bia itu sering banget cerita ke Mamah. Kak Bia sering minta diajari masak yang enak biar bisa bawain bekal untuk Mas Nizam."
"Kamu serius, Yo?"
"Etdah. Serius banget ini mah. Dua kali rius. Kok aku jadi mikir. Penasaran. Kak Bia aneh."
"Ya sudah. Terima kasih, Yo. Ada kabar apa-apa kamu beritahu aku."
"Tapi, harusnya Kak Bia juga ngomong ke Mas Nizam kalau Kak Bia benar cinta."
"Oke. Aku pulang dulu."
"Hati-hati, Mas."
Di tengah perjalanan pulang, ponselku bergetar. Aku berhenti. Melipir di depan warung pecel yang buka mulai ba'da magrib. Ibuk menelepon.
📞"Nggeh, Buk?" (Ya, Buk?)