*POV Ibban Nizami
📞"Ya sudah. Enggeh. Ibuk siap-siap saja dulu. Kalau Mas Iman belum berangkat, Ibuk bisa bareng dia. Nggeh? Kayaknya belum berangkat kok, Buk."
📞"Iya wis (sudah). Ibuk siap-siap dulu. Lagipula Ibuk juga tidak pernah ke Tulungagung."
📞"Iya, Buk. Assalamu'alaikum."
📞"Wa'alaikumussalam, Zam."
Aku telepon Mas Iman. Pesanku sudah centang dua.
📞"Gimana? Berangkat jam berapa?"
📞"Nanti, Mas Bro. Setelah magrib langsung berangkat."
📞"Oke. Sekalian minta tolong kamu jemput Ibuk saya di rumah. Ibuk maksa pengen ke sini."
📞"Oke, Mas. Insyaallah nanti saya jemput."
📞"Iya. Terima kasih, Mas."
Mas Iman memutus panggilannya lebih dulu.
Kukirim pesan SMS ke ibuk.
"Buk, ba'da magrib njenengan langsung dijemput. Ibuk langsung siap, nggeh. Perjalanan jauh. Ibuk pakai jaket. Bawa bajunya tidak usah banyak-banyak. Minum obat anti mabuk. Aku nggak ingin Ibuk sampai sini malah jatuh sakit." Pesan terkirim.
Aku mengirim pesan lagi. "Ibuk tidak usah bawa makanan apa-apa. Tidak usah beli. Biar aku yang masak, Buk. Aku juga bisa tinggal beli di warung."
Di rumah.
Data handphone stay hidup. Aku menunggu kabar dari orang tua Mbak Rubia dan Dio. Sayur dan lauk di dapur sudah habis. Aku tinggal beli di warung depan. Siapa tahu setelah itu ada kabar baik. Aku keluar sebentar, jalan kaki.
Saat aku membeli, ada tetangga yang juga sedang membeli nasi goreng, lalu menanyakan kabar Mbak Rubia. Dengan jujur, aku mengatakan dia sedang sakit. Aku mengaminkan doa yang kemudian dipanjatkan oleh wanita itu. Aku juga sekalian memberitahukan jadwal les ngaji dan sekolah sementara libur karena keadaan yang mendesak.
"Ini, Mas."
Aku memberikan lembaran uang itu sembari menyongsong kresek. Kuberi uang pas.
Setelah aku kembali, meletakkan sayur itu di kuali, aku melihat notifikasi panggilan tidak terjawab di ponselku yang sedang aku cas. Aku segera menelepon balik panggilan dari mamahnya Mbak Rubia. Aku berdecak. No respons. Geser ke bawah, aku memanggil Dio. Dia pun sama. Mengabaikan panggilan.
Kutinggal salat dan mengaji. Kuhabiskan puluhan lembar Alquran seraya mendoakan Mbak Rubia. Sampai di penghujung malam, aku masih menghadap layar handphone dan laptop. Kutinggal mengerjakan tugas upload data mahasiswa. Teh kencur tinggal separuh gelas besar.
Dan, tidak terasa aku ketiduran sebelum aku salat isya. Aku terbangun ketika tiba-tiba ada yang berkali-kali mengetuk pintu depan lumayan keras. Dengan langkah sedikit terhuyung dan mata buram, aku membuka pintu. Menyambut kedatangan ibuk dan Mas Iman dengan mulut yang sedang menguap.
"Masuk, Buk!"
"Ibuk belum salat. Jam berapa ini?" Ibuk meletakkan tas besarnya di kursi. Kepalanya memutar ke kanan kiri, mencari di mana jam dinding.
"Tidak ada jam, Buk. Mati belum aku ganti."
"Masih jam dua," jawab Mas Iman.
"Kita jamaah dulu kalau gitu. Aku juga ketiduran. Belum isyak."
Mas Iman yang mengambil posisi menjadi imam. Dia lebih terjaga. Sepuluh menit berlalu.