*POV Ibban Nizami
Kupandangi batu kubur itu dalam-dalam. Tak kusangka nama orang yang mulai kucintai telah tertulis di sana.
Rubia,
Takdirmu dan takdirku berbeda, ya
Kau pergi ke arah dimana orang tak akan lagi menemukan pelukmu
Kamu yang kini sebatas bayangan
Tak lebih dari kenangan yang terpatri dalam ingatan
Tapi, aku masih di sini menghirup aroma mawar dan melati di tanah kuburmu
Aku menaburkan lagi bunga-bunga di genggamanku seraya merapalkan doa sebagai hadiah terindah untuknya. Semoga tasbih tak akan putus sampai mawar melati itu mengering.
Aku memegang nisan itu. "Ternyata cintamu memang luar biasa. Aku tidak habis pikir, apa yang kamu sukai dariku. Saat cinta itu telah terbalas, hadirmu tak lagi ada di mataku. Maafkan aku, Sayang. Kamu tidak sempat mendengar kalimat cinta itu dariku. Tapi, sambutlah doa-doa yang akan senantiasa kuhadirkan untukmu di sujudku," batinku. Lalu, aku mencium nisannya lama. Selamat tinggal, Kasihku.
Giliran ibuk yang mencium itu. Mengelus-elusnya sebelum bangkit.
"Kami permisi pulang dulu," ucap ibuk kepada orang tua Mbak Rubia.
"Minta doanya untuk Rubia, ya."
"Insyaallah. Saya dan Nizam akan doakan Mbak Rubia, Bu Nasti."
Mata Tante Nasti berkaca-kaca. Menatap haru. Lalu, memandangku sembari berkata, "Mas Nizam jangan lupa tetap silaturahmi ke rumah Om dan Tante. Jika Mas Nizam menikah, Tante pesan diundang, ya."
"Insyaallah, Tante."
"Mas Iman juga begitu. Meskipun rumahnya Banyuwangi, jangan sungkan-sungkan ngundang. Kami juga masih akan sering ke sana sambang saudara."
Mas Iman mengangguk.
Kami pulang.
"Zam, sayurmu tadi habis. Beli sayur dulu, nanti Ibuk masakkan makanan kesukaan kamu."
"Beli sajalah, Buk," kataku tidak bersemangat.
"Mas Iman pengen makan apa?"
Mas Iman menoleh sedikit. "Apa, ya, Bu? Saya ngikut saja. Semua suka."
Kuambil keris itu dari saku celana. Aku memandanginya. Membuka sarung kerisnya. Kepada siapa keris ini aku kuberikan? Siapa yang paling pantas menyimpannya?
Ibuk melirik keris di tanganku. Berkata, "Keris opo (apa), Zam? Dari siapa?"