*POV Yazeed Akiki Mubarak
Mereka perempuan yang berlatarbelakang sama. Menjalani kehidupan yang sangat keras. Pernah menilik hidup yang tak senonoh di kolong comberan. Demi Tuhan, aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia yang ingin menjaga hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) melalui hubungan dengan manusia (hablun minan nas). Lihatlah dulu Khalifah Abu Bakar pernah memerdekakan budak bernama Bilal bin Rabbah yang ketika itu telah mengikrarkan kalimat syahadat. Bahwa tidak sedikit perempuan seperti mereka adalah mereka yang menjalani hidup di kolong comberan atas dasar keterpaksaan. Aku menjalankan amanah dengan membebaskan mereka dari tempat itu. Dan, hanya kepada mereka yang terpilihlah aku mau membawa mereka ke tempatku, sebuah pondokan yang kebanyakan dihuni oleh kaum perempuan yang dianggap najis. Tetapi, setelah melalui waktu yang cukup panjang dalam hitungan tahunan, mereka kini tak ada bedanya dengan muslimah yang baik. Mereka dapat hidup bermasyarakat guyub rukun di wilayah pondokan yang memang tempatnya sangat luas.
Sebagian dari mereka ada yang sudah hidup bahagia dengan anak mereka. Sama seperti perempuan bernama Ratna. Dia harus tinggal di sini dalam keadaan masih hamil tiga bulan. Aku membawanya ke sini atas persetujuan dirinya sendiri yang mengaku ingin hidup aman. Ketika itu, dia tidaklah memohon, tapi aku mengerti apa yang sebetulnya dia inginkan. Sekarang dia sedang menyendiri di biliknya. Masih enggan bercengkrama dengan perempuan lainnya.
"Gus, ada yang kumat," kata Kang Jeprak. Dia dulunya mantan preman. Mabuk, lalu pulang tengah malam. Jarang bekerja dan hanya menghabiskan uang di meja judi. Bahkan, dia satu-satunya pria yang paling hafal nama-nama minuman beralkohol. Saking seringnya minum. Lima tahun di sini, dia benar-benar telah menemukan titik terang kehidupannya yang gulita. Dalam masa karantinanya, dia meninggalkan anak istri. Saat ia telah sembuh, anak istrinya justru telah tiada. Dua tahun lalu, dia nyaris kembali menjadi partikelir, kabur bergabung dengan firqahnya yang dulu. Tapi, hanya berselang tujuh hari dia kembali dalam keadaan selamat meski beberapa tubuhnya terluka.
Aku menahan diri melangkah ke arah Ratna. Aku menemui pria yang dimaksud Kang Jeprak.
"Kenapa dia?"
"Biasa, Gus. Dia mabuk."
"Sial. Baru kemarin dia berjanji padaku tidak meminum lagi," kataku.
"Harusnya njenengan membuang minuman itu," kata Kang Jeprak.
"Jika aku membuang begitu saja, aku tidak akan tahu seberapa amanahnya dia menepati janji diri sendiri."
Dadi sini, kelihatan Kang Diga di pelataran seperti orang kesurupan. Aku maklumi karena dia di sini masih sebulan.
"Perketat keamanan. Jangan sampai ada penyambang yang datang tanpa sepengetahuan. Lagipula ke mana yang jaga? Tidak boleh ada masa lalu kalian di tempat ini. Kang, aku pasrah padamu. Gerakkan anak buahmu, Kang-kang yang saat ini kaubawahi. Seberapa jauh peningkatan mereka?"
"Ilmu beladiri mereka semakin bagus, Gus."
"Oke. Bagus." Aku mengangguk.
Kudekati Kang Diga.
"Assalamu'alaikum? Shallu 'ala nabi?"
"Wa'alaikumussalam. Allahumma shalli 'alaih."
Aku bercangkung di depannya. Kusentuh pundaknya. Kupukul-pukul pundaknya supaya dia memuntahkan apa yang telah dia minum.
"Shallu 'ala nabi?" bisikku padanya.
Yang lainnya menyahut.
"Jawab dalam hati saja," kataku seraya mengangkat tangan.
"Cepat!"
Dia muntah-muntah.
"Kang Gio mana?" Aku mengedarkan pandangan.
Yang lainnya diam.
"Di mana dia?" Nadaku meninggi.
Terdengar suara orang berlari. Beberapa orang berdiri melonggarkan kerumunan.
"Dari mana kau?"
"Hajat, Gus."
"Urus dia. Ajak dia baca ayat kursi di ruangan sana. Meditasi satu jam!"
Aku berbisik pada Kang Diga, "Good job. Kau harus bisa melawan nafsu. Tanpa kausadari itu telah mengikis imanmu. Jangan jadi bedebah. Ingat shallu 'alan nabi, shallu 'alan nabi."