Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #76

Sowan

*POV Ibban Nizami

Hari minggu. Ba'da tahajud, aku dan ibuk berangkat sowan kepada para pengasuh pesantren tempatku dulu menimba ilmu. Kami menuju Magetan terlebih dahulu sebelum ke Jawa Tengah. Sekarang masih sekitar dua jam perjalanan. Baru saja melewati rumah sakit umum Dr. Harjono Ponorogo. Dan, musik yang kudengarkan saat ini ialah suara merdu ibuk sedang mengaji. Meskipun ibuk bukan penyanyi ataupun qariah, tapi kemampuanku di bidang olah suara berasal dari jiwa ibuk. Bedanya, ibuk tidak pernah mengenal dunia seni suara selama hidupnya. Hanya mau belajar padaku menerapkan nada apa yang mudah dan enak digunakan ketika binnazaran Alquran.

Satu kali al-fatihah dalam batinku. Kuhadiahkan kepada Mbak Rubia. Di akhir ibuk membaca, aku mendengar lirih ibuk menyebut nama Mbak Rubia juga. Diam-diam ibuk telah memperlakukannya seperti putri sendiri.

"Zam, doa kanggo (untuk) Mbak Rubia."

"Sudah, Buk."

"Kerismu kemarin juga kaubawa, kan?

"Aku pasti membawanya, Buk."

"Ibuk bukannya nyuruh kamu segera melupakan perasaanmu pada Mbak Rubia endak, Le. Beban urusan yang ditanggung manusia yang telah meninggal itu banyak."

"Perasaan hanya masalah waktu, Buk. Njenengan tenang saja."

"Muga-muga lantaran sowan Kiai, hatimu dan Ibuk bisa menjadi lebih legowo. Neriman ing pandum (menerima pemberian)."

"Nggeh. Aamiin."

Setiba di Magetan.

Pesantren tempatku ikut pesantren kilat selama dua puluh hari di bulan ramadan. Tidak banyak yang berubah. Perbedaannya ada pada banyaknya pohon tinggi di depan pesantren dan bertembahnya sarana santri, termasuk kamar. Petak-petak kamar santri putra maupun santri putri juga masih sama. Dimana masing-masing kamar dibangun terpisah. Satu kamar hanya dihuni empat orang saja. Sekilas akan mirip terlihat seperti perkampungan.

Aku menuntun langkah ibuk. Mengerlingi sudut pesantren yang masih dapat terjangkau pandanganku. Dan, seperti biasanya abah kiai akan duduk melayani masyarakat yang datang berobat. Mengobati penyakit dalam yang tidak berkesudahan atau penyakit yang tidak dapat didiagnosis pengetahuan ilmiah seorang dokter. Tidak ada tarif. Jika penyakit itu hanya biasa, dulu abah kiai hanya menganggap itu bagian dari taawun sesama hamba Allah. Entah bagaimana sekarang.

"Di mana Bu Nyai?"

"Zam, Bu Nyaimu yang mana?"

"Dulu Bu Nyai umrah. Aku tidak sempat bertemu beliau. Paling sekarang ada di ndalem itu."

Maka, keluarlah satu pemuda tinggi dan wanita yang usianya lebih muda daripada ibuk. Atau, mungkin sebetulnya sejajaran. Aku dan ibuk menghampiri beliau.

"Assalamu'alaikum?"

Baru setelah beliau menjawab, aku menyatukan alis. Wajah di depanku tidak asing. Aku mengabaikan pertanyaanku.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Sinten niki (siapa ini)?"

Kami saling menelungkupkan tangan.

"Ngapunten. Ini Bu Nyai, nggeh?"

"Loh, sek to, Mas. Kula kok nate pirso sampeyan ki teng pundi?"

Terjemah: (Loh sebentar, Mas. Saya kok pernah tahu kamu itu di mana?)

Pria di samping bu nyai, yang kuingat dia adalah Gus Fakhar, usianya di bawahku, dia menjawab, "Laki-laki di foto itu, kan, Mik?"

"Masyaallah. Bener. Ya Allaaaaah. Silakan masuk! Monggo, monggo!"

Lihat selengkapnya