*POV Ranaa Hafizah
Aku, Mbak Ufi, dan Ning Ulya berjingkat-jingkat ke dapur begitu tahu ada tamu yang datang. Katanya ada dua tamu yang datang dari jauh, berkendara dengan mobil. Aku tidak tahu siapa mereka. Mereka belum pernah ke sini kata Mbak Ufi yang hafal-hafal tamu-tamu bu nyai dan kiai. Tadi pagi kami baru masak banyak. Tentu nasinya pun masih cukup disajikan kepada mereka. Tepo makanan kesukaan Kiai Bahar dan sate kelinci yang kata Mbak Ufi itu adalah makanan kesukaan Bu Nyai Ridhaa masih banyak. Dimasak kemarin sore untuk menyambut kedatangan saudara bu nyai dari Madiun. Sudah pulang setengah jaman sebelum tamu kedua datang.
"Mbak, aku yang bawa ke sana?" tanyaku.
"Aku saja," sahut Ning Ulya.
"Aku sajalah." Mbak Ufi langsung mengangkat nampannya.
Pandanganku memastikan dia benar-benar bisa membawanya sendirian.
"Mbak Iza?" panggil Ning Ulya. Dia memanggilku begitu karena Gus Fakhar yang mengawali. Terbiasa menyapa dengan dua kata iz. Lantas diikuti semua orang.
Aku menoleh. "Nggeh?"
"Mbak Iza kenapa banyak diam? Setahuku Mbak Iza ini ngomongnya dikit banget."
"Tidak apa-apa, Ning. Saya ke situ dulu." Kutunjuk cucian piring yang banyak. Hari Ahad barang dapur yang kosong pasti akan menumpuk.
"Aku bantu."
Tak berselang lama Mbak Ufi kembali.
"Mbak, diutus ke depan?"
Kami berdua menoleh. Mbak Ulya yang bertanya, "Aku atau Mbak Iza?"
"Kalian berdua."
"Ayok!" Ning Ulya berdiri. Menyerbeti tangannya yang masih basah.
Aku berjalan di belakangnya menuju ruang tamu. Lantas aku spontan ingin tersedak setelah melihat siapa yang datang. Kenapa harus dia? Tapi, beberapa detik kami duduk, Kiai Bahar menyuruh Ning Ulya menyisih ke dapur. Sehingga yang diperlukan di sini hanya aku seorang.
"Sampeyan purun to sing ayu ngene iki?"