*POV Ranaa Hafizah
"Jalan saja biasa. Ini tempat ramai!" perintah Yazeed.
Pagi itu kami benar-benar menuruti semua kata-kata Yazeed. Dia bilang kami akan aman jika bersamanya dan tidak berusaha melepaskan diri. Ketika turun dari bus, aku dan Ratna ragu bagaimana jika dia orang yang hanya berpura-pura baik? Aku melihat pakaiannya yang tak ubahnya seorang preman. Celana jeans warna pudar, gelang kaoka tujuh buah di tangan kanan, cincin besar permata di jari kelingking tangan kiri dan cincin kaukah polos di kelingking tangan kanan. Atasannya hanya berupa kaus oblong. Tapi, Yazeed memperingatkan jika kami tidak manut, Pak Su dan Mas Hakim akan terus membuntutinya. Di situlah aku mulai berpikir, dia ada benarnya juga. Entahlah aku hanya memanfaatkan kesempatan. Yang penting aku dan Ratna bisa aman dari langkah Pak Su dan Mas Hakim yang masih terus mengikuti. Mereka pun bersikap seperti orang yang tidak sedang membuntuti.
Kami mengatur siasat. Yazeed mengajak kami masuk ke warung makan yang sangat ramai demi mengecoh pergerakan. Kami memilih tempat yang paling ke dalam. Aku menoleh ke kanan kiri, kulihat di seberapa pintu, mereka berdua ada di sana. Tampak bingung. Dan, akhirnya mereka menghilang dari sana. Tapi, aku masih cemas. Mungkin saja mereka malah stay menunggu di luar.
Yazeed menatap Ratna.
"Kauhamil?"
Aku menanapnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Ratna apalagi. Dia senyap. Tebakan Yazeed amat tepat sasaran. Dan, itu membuatku bertambah yakin bahwa sebetulnya Yazeed itu bukan sekadar preman. Atau, dia memang mengenal Pak Su dan Hakim.
Ratna menundukkan wajahnya.
"Bersikaplah biasa. Aku sudah sering menemui orang seperti kalian. Siapa yang melakukannya padamu?"
Kami diam.
"Pak Su?"
Tetap diam.
"Sudah kuduga. Aku kenal Pak Su. Dia dipanggil asu. Tiga tahun lalu, dia ada di pondokan milik orang tuaku. Meditasi satu bulan. Dia sempat berhasil taubat. Tapi, rupanya itu caranya supaya kami percaya dan terlena. Karena siapa pun yang sudah ada di sana, sebelum dia berhasil menjadi orang baik, dia tidak akan diperkenankan keluar menemui keluarganya. Lalu, malah kabur. Sekitar satu bulan kami mencari, dia gagal ditemukan orang-orangku. Aku lama tidak bertemu mereka setelah memutuskan membiarkannya pergi. Hari ini, aku malah dipertemukannya tidak sengaja di terminal. Lalu, justru bertemu dengan kalian berdua. Sebelumnya aku sudah mendengar dia punya klub di Banyuwangi. Dan, kalian rupanya yang sudah menjadi korbannya."
"Kamu beneran kenal dia?" tanyaku.
"Yes. Setiap orang yang pernah masuk ke pondokanku, aku pasti kenal baik dengan mereka. Aku juga tahu latar belakang kehidupannya. Singkat cerita, dia dan seorang perempuan pernah menjalin cinta setelah pertemuan di sebuah tempat malam. Perempuan itu nggak beda jauh dengan kalian. Hanya saja perempuan itu bekerja karena hidup miskin. Dulunya Pak Su orang kaya. Cukup mapanlah. Berkali-kali putus cinta, malah akhirnya jatuh ke tempat seperti itu. Dia sudah mencandui. Malam demi malam, mereka akhirnya jatuh cinta dan akhirnya perempuan itu keadaannya sama sepertimu, Ratna."
"Pak Su tidak bertanggung jawab?"
"Jelas. Laki-laki yang bersamanya tadi, mungkin anak laki-lakinya. Sebelum dia kabur, dia sempat cerita akan menemui anaknya. Dia pikir anaknya sudah dewasa. Kausadar mereka punya hubungan sedekat itu?"
Aku tidak sadar. Setelah kuingat baik-baik, banyak kemiripan di wajah mereka berdua.
"Kau pasti tidak sadar. Apa yang kauketahui selama ini?"
Berhubung dia kelihatan sangat serius membicarakan Pak Su dan Mas Hakim, aku menjadi sedikit antusias untuk menanggapi.
"Setahuku Mas Hakim anak yatim."
"Ibunya?"
"Ibunya perempuan baik-baik."
"Dia sudah cukup malu menghadapi kenyataan hidupnya sendiri. Kalian tahu betul bagaimana rasanya. Diskriminasi sosial seumur hidup."