*POV Ranaa Hafizah
Ba'da salat subuh jamaah dengan santri putri aku dipanggil Mbak Ufi yang pagi tadi mendadak uzur syar'i. Aku masih hendak memakai sandal yang telah dijejer-jejer rapi oleh santri yang sukarela menata sandal santri-santri yang tengah salat jamaah.
"Mbak, diutus menemui Abah."
"Waduh," batinku. Sudah pasti kiai ingin menanyakan tawaran kemarin lusa.
"Cepetan! Habis ini kita harus masak sarapan santri putra."
"Masak apa, Mbak?" tanyaku seraya mulai melangkah.
"Lodeh dan tempe mendoan."
"Yang nemenin kita masak tetap santri yang kemarin?"
"Iyalah. Santri yang diutus masak di ndalem itu nggak sembarang santri. Kecuali kalau mereka pulang."
Masih dengan memakai mukena, aku menghampiri kiai di ruangan khusus tempat Kiai muthalaah.
"Assalamu'alaikum?" salamku melirih. Baru pertama kali aku diutus menemui beliau di sini. Pintu ini sering ditutup meskipun tidak ada orang di dalam.
Saat pintu dibuka, aroma sedap malam sejurus menembus lubang hidungku. Sepertinya itu memang tempat khusus yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Tapi, ternyata kiai menyuruhku masuk. Aku salah. Aku sedikit mencuri pandang ke sekitar. Ruangan yang mirip dengan perpustakaan. Lemari kacanya berisi kitab-kitab dan ada beberapa piala kejuaraan yang kupikir itu diraih oleh Gus Fakhar. Aku juga menemukan foto berukuran 12 R berbentuk landscape dipajang di sebelah kananku. Foto kiai menggendong bayi dan dikelilingi oleh pria-pria memakai jubah dan sorban di kepala. Jika bukan Ning Tsaniya ya Gus Fakhar. Aku tak sempat memperhatikan lebih jelas. Kiai memintaku duduk tanpa menatapku. Beliau masih menunduk, membaca kitab.
Aku duduk.
"Wis ngaji?" (Sudah ngaji?)
"Dereng (belum), Bah."
"Ngaji kui paten. Ojo sampek santri ora tahu ngaji. Repotmu koyo ngopo, dadekno ngaji wis koyo perkoro wajibmu. Cedek karo Alquran kui bungahne ati, Nduk. Salah bener sing penting niate ngaji. Nuprih rahman rahime Gusti Allah."
Terjemah: (Ngaji itu paten. Jangan sampai santri tidak pernah ngaji. Serepot apa kamu, jadikan mengaji seperti perkara wajibmu. Dekat dengan Alquran itu membahagiakan hati, Nduk. Mencari kasih sayang Allah)
"Inggeh."
Kiai Bahar menggeser sesuatu di meja. Itu patrem milik Pak Nizam. Dugaanku benar.
"Sampeyan wis salat istikharah?"
Terjemah: (Kamu sudah salat istikharah?)
Aku menggeleng.
"Opo wis duwe jawaban?"
Terjemah: (Apa sudah punya jawaban?)
Aku diam sembari menunduk.
"Nduk, lek sampeyan pengen matur neng Ibuk ndak opo-opo. Ibuk gadhah HP nopo mboten?"
Terjemah: (Nduk, jika kamu ingin bicara pada Ibuk tidak apa-apa. Ibuk punya HP apa tidak?)
"Mboten gadhah, Bah."
Terjemah: (Tidak punya, Bah)