*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
Malam hari.
Makin ke sini Iza lebih menunjukkan keterbukaannya jika aku mengajaknya bicara. Ada alasan yang bisa kugunakan untuk membuka topik percakapan yang kedengarannya tidak receh. Dengan begitu, dia tidak akan merasa canggung. Caranya bicara mendewasai dan sedikit dingin. Sepertinya dia tidak biasa berbicara dengan laki-laki. Dia tidak akan mengajak bicara jika aku tidak memulainya.
Sekarang aku berusaha membujuknya supaya berani jujur pada abah. Aku tidak tega bila harus melihatnya menerima tawaran yang tidak diinginkannya. Persis yang kujalani saat ini. Cukup aku saja yang merelakan keinginan diri sendiri dan memilih menjunjung tinggi adab birrul walidain. Supaya kelak kisah ini akan didengar sebagai kisah teladan dua manusia yang menjalankan perjodohan demi kebahagiaan orang tua.
Iza mengangguk setelah aku menyuruhnya jujur.
"Langsung jujur saja kalau Abah nanya lagi. Nggak usah nunggu orang tua. Kamu juga boleh menolaknya langsung. Daripada kamu harus memilih antara keinginanmu sendiri dan orang tuamu."
"Njenengan benar juga."
"Maksudnya?"
"Ibuk saya menyukai Pak Nizam, Gus."
"Kira-kira Ibumu tipikal orang yang gimana?"
"Ibuk itu..." Dia diam sejenak.
"Kalau tipikal kayak Ummik itu agak maksa. Ummik kalau sudah punya karep (keinginan) biasanya agak sulit dikoyak."
"Ya insyaallah Ibuk orangnya lebih sering mengutamakan keinginan anak-anaknya, Gus. Tapi, Ibuk pun pernah menyuruh anak-anaknya melakukan sesuatu jika itu sangat baik untuk anak-anaknya nanti."
"Ya udah. Nggak usah dibuat ribet, Za. Kalaupun Ibumu nanti tahu, kamu tinggal bilang kamu tidak bisa menerima. Kalau Ibumu menyayangkan keputusan kamu, kamu cukup meyakinkan Ibumu bahwa jodoh tidak akan salah menemui pemiliknya. Gampang, kan?"
"Terima kasih wejangannya, Gus."
"Biasa aja."
Melihat wajah cantiknya, aku teringat Tsaniya. Menurut perkiraan ummik, Tsaniya akan menjadi anak yang berwajah cantik jika sudah tumbuh besar. Pasti sudah sebesar Iza.
"Kamu berapa tahun, Za?"
"Tujuh belas, Gus."
"Yakin kamu masih tujuh belas?"
"Me-mangnya njenengan ngiranya berapa?"
"Dua puluh lebih. Dua puluh satu gitulah."
"Yah, saya jadi tua, Gus."
Aku tidak dapat menahan senyum kali ini. Dan, ini memang kali pertamanya dia tertawa karena aku mengiranya lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Beberapa detik aku memandanginya, tapi dia tidak menyadari itu.
"Kamu emang tua, Za."
Bibirnya spontan manyun.
"Nggak usah gitu wajahnya. Makin jelek."
Saat dia tersadar sedang bercanda denganku, dia mengubah ekspresi wajahnya.