Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #86

Sejarah Singkat

*POV Yazeed Akiki Mubarak

Aku sudah sering masuk ke kolong comberan. Yang belum tahu siapa aku sebetulnya dan apa yang kulakukan di sana, mungkin saja mereka akan mengiraku seperti laki-laki yang suka berkeliaran tengah malam untuk mendapatkan kepuasan abstrak. Sejak pondokan berdiri lebih megah sembilan tahun lalu, setelah lahannya diperluas lebih dari satu hektar, aku menjalankan amanat mbah kakung. Mbah kakung wafat pada tahun 2011, tepatnya pada tanggal 08 Syawal 1433 H.

Dulunya tempat itu hanyalah sebuah majelis ta'lim warga setempat yang dilakukan ba'da subuh dan magrib, rutin setiap hari kecuali bila mbah kakung dan abah tidak dapat mengisi dan tidak ada badal pengajian. Mulai dari pengajian yang diikuti tiga orang pertama yang kini sudah meninggal, lambat laun jamaahnya pun kelar mencapai ratusan orang. Selonggar mereka yang bersedia ikut. Pengajian mulai dari kitab dasar tauhid dan tajdwid yang khusus diselenggarakan pada hari malam jumat dan malam minggu. Tempatnya pun selalu di rumah.

Bermodal ketelatenan dan kesabaran mbah kakung dan abah dalam mengayomi masyarakat yang sukarela datang membawa niat talabul ilmi, jumlah jamaah tidak pernah berkurang. Namun, setelah mbah kakung sedo (meninggal), abah mulai kebingungan bagaimana caranya ngopeni jamaah sebanyak itu, sedangkan pengajian harus tetap digelar setiap hari. Abah sendiri hanya punya satu anak laki-laki yaitu aku yang ketika itu masih sibuk kuliah dan aktif di komunitas yang keluar dari jalur kepesantrenan. Adik perempuan meninggal saat berusia satu tahun.

Pada dasarnya aku tidak punya cita-cita untuk meneruskan perjuangan mereka. Aku punya dunia sendiri. Tetapi, kembali pada apa yang pernah diamanatkan mbah kakung bahwa siapa lagi yang berhak meneruskan jika bukan aku. Aku tidak punya pilihan lain. Tetapi, aku tidak ingin meninggalkan duniaku. Aku tidak ingin menjadi orang lain. Karena Yazeed tetaplah Yazeed. Maka, sejak setelah amanat itu kujalankan, aku mengusulkan kepada abah bagaimana jika majelis ta'lim dikembangkan.

Mulanya abah tertarik mendengar konsep yang aku presentasikan. Tetapi, abah mempertimbangkan ideku setelah aku menyebutkan siapa yang akan menghuni pondokan. Kekhawatiran abah pun terjadi. Pada saat majelis ta'lim kitab ba'da subuh digelar, abah menjelaskan pada masyarakat. Otomatis berbagai macam tanggapan itu disuarakan. Aku ingat bahwa waktu itu kejadiannya sangat ramai. Isu-isu abah penganut ajaran sesat, abah tidak waras, aku dianggap penerus yang tidak mampu menjalankan amanah, dan masih banyak lagi. Abah mendapatkan kecaman. Bahkan, sekeluarga pernah dilaporkan kepada pihak berwajib atas tuduhan pengancam keamanan masyarakat. Lantas, berbulan-bulan majelis ta'lim mati. Sebetulnya jadwal tidak berubah. Setiap hari abah pun menunggu jamaahnya datang, tapi yang datang seringkali tidak lebih dari sepuluh orang. Banyak yang takut kembali setelah kemakan opini menyesatkan dari jamaah entah siapa yang telah mengada-ngada. Dan, ternyata selama ini memang ada buzzer yang mensetting isu-isu seolah-olah menjadi fakta. Apalagi, latar belakang hobi dan lingkup kebiasaanku bergaul dengan preman-preman lantas menjadi sorotan.

Dari beberapa jamaah yang tetap setia kepada abah, saking cintanya kepada abah, mereka turut membantu menyelesaikan kasusnya dengan perjuangan yang tidak gemen-gemen (ala kadarnya). Mereka sadar penuh bahwa apa yang aku usulkan itu memang juga ada perlunya. Orang-orang seperti Aynur yang mendapatkan kesempatan bebas pada akhirnya juga bisa menjadi seorang yang lebih baik. Baru setelah satu tahun kasus-kasus itu berhasil diusut dan diselesaikan, kami bebas berurusan dengan media sosial dan pihak berwajib, pembangunan pondokan dimulai. Dan, sejak itu aku mulai menggencarkan aksiku. Tapi, sejak itu pula majelis ta'lim tidak bisa dilakukan di pondokan. Selaian karena memang pondokan untuk sementara waktu tidak dapat digunakan, ada pembabadan tanah yang masih subur oleh pohon-pohon berkayu dan renovasi besar-besaran, ada yang masih enggan bercengkrama meskipun nama keluarga kami sudah bersih. Tetapi, tidak mudah memang jika telah menelan isu itu mentah-mentah. Maka, abah memutuskan menggelar pengajiannya ke rumah-rumah warga, masjid, atau musala yang sukarela mau digunakan untuk pengajian, dengan jadwal tidak setiap hari. Sekaligus untuk memperbaiki ikatan silaturahmi yang sempat putus. Dengan begitu, setidaknya majelis dapat kembali berjalan walau harus menunggu jamaah benar-benar rida kembali. Seperti memulai lagi dari nol. Jika dihitung sejak awal mbah kakung merintis majelis, usianya sudah tiga puluh lima tahun.

Setelah semua suasananya menjadi lebih baik, pembangunan rampung dalam waktu setahun setengah, para jamaah berkenan kembali majelisan ilmu di pondokan setiap ba'da subuh. Sedangkan, ba'da magrib tetap dilakukan keliling di perkampungan warga. Warga dan penghuni pondokan kini sudah biasa bercengkrama di dalam maupun di luar pondokan. Tetapi, saat penghuni pondokan berada di luar, mereka selalu dalam pengawasan. Sebab, latar belakang penghuni tetaplah orang bermasalah. Banyak juga yang masih menjadi uber-uberan.

Lihat selengkapnya