*POV Ibban Nizami
Sepulang dari ndalem Kiai Bahar, aku berziarah di makam Kiai Haji Abdurrahman pendiri Masjid Kuno Tegalrejo tahun 1835 M di Tegalrejo, Semen. Lima belas menit di sana, lalu mampir ke warung makan.
"Zam, Ibuk masih bingung. Siapa nama mereka berdua?"
"Maksud Ibuk Fizah dan Ratna?" Aku sembari mengunyah.
"Iya, Le. Kenapa mereka mengaku Zahra dan itu...yang satunya Rinai apa siapa itu."
"Karena mereka belum kenal kita. Mereka terpaksa memakai nama samaran. Wajar, Buk. Kita orang asing." Kira-kira begitulah maksud Ratna dan Fizah. Tapi, aku tidak akan menjelaskan alasan dibalik itu.
"Ya iya, Le. Tapi..." Ibuk berdecak. "Ya uwislah (ya sudahlah). Memangnya kamu kenal?"
"Ya sekedar aja, Buk. Ibunya bernama Bu Mini. Rumahnya Sendang. Tidak jauh dari kontrakan. Aku kasih tahu fotonya." Kubuka galeri ponselku. Aku pernah diam-diam mengambil gambar Bu Mini, Fizah, dan Si Sulung.
"Ini, Buk."
Ibuk meraih ponselku.
"Lha ini kok, ya, putih sendiri Fizahnya? Kelihatan paling ayu, Zam. Ayu lo, Zam." Ibuk menatapku antusias. Lalu, seketika cekungan senyum ibuk mencembung.
"Kenapa, Buk?"
"Ibuk kangen Mbak Rubia, Zam." Ibuk meletakkan sendoknya.
Tak kunyana bahwa yang akan kutemui di pesantren itu nyatanya malah Fizah. Aku pun menjadi enggan. Selain karena aku masih ingat apa yang kulakukan sore itu, aku sadar tidak bisa mengharapkannya. Maaf saja bisa jadi sulit kuterima, apalagi meminta cintanya. Dari tatapannya saja aku sudah mengerti. Dari nadanya yang tegas saat didengar membuktikan dia marah padaku. Namun, sejujurnya jika bukan karena Kiai Bahar yang menjadi perantaranya, aku tidak sepenuhnya yakin dia akan menjadi pasangan yang baik untukku. Sebagai murid, keyakinan seorang murabbi menjadi penguat langkah gamangku. Ketika pasrah kuserah, Fizah datang sebagai satu-satunya pilihan setelah tiadanya Mbak Rubia. Perempuan tujuh belas tahun yang tak nampak seperti usinya.
"Insyaallah Mbak Rubia sudah tenang."
Bibir ibuk komat-kamit sambil memejamkan mata. Kelihatannya sedang memberikan hadiah fatihah untuk Mbak Rubia. Aku mengikuti.
Saat terbukanya mata itu, ibuk langsung mengucapkan sesuatu, "Zam, kalau cari jodoh yang seperti Mbak Rubia yo, Le. Baik, cantik, santun. Nggak neko-neko. Yang paling penting punya latar belakang bagus, Zam. Jadi, kamu harus paham sedikit kehidupannya. Pokoknya, Le, pilih yang ndak neko-neko."
"Kalau Fizah?"
"Ibuk kok belum cocok banget, Le. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Tapi, paling itu karena Ibuk belum kenal. Kalau sama Mbak Rubia ibuk sudah paham sedikit-sedikit."
"Menurut Ibuk dia gimana? Sekilas saja, Buk."
"Ibuk ndak paham. Ibuk tidak berani menilai, Le. Gimana misale besok kamu ajak ke rumahnya Fizah itu?"
"Ibuk pasti akan menyukainya jika mendengar kisah yang diceritakan ibunya. Dalam kisahnya, dia luar biasa, Buk," batinku.
"Tapi, ngomong-ngomong, Zam, kalau Ibuk lihat dia masih muda. Lebih muda dari Mbak Rubia, kan?"