*POV Ranaa Hafizah
Begitu bahagia melihat ibuk tiba-tiba berdiri di depan mataku meski yang di sampingnya ialah Pak Nizam. Dan, walaupun tak mengucapkan terima kasih langsung padanya, kuakui karenanyalah ibuk bisa sampai di sini. Dia menyampaikan amanat dariku.
Aku mengabaikannya. Aku enggan berbicara apa-apa dengannya. Dia tidak duduk karena tidak ada yang mempersilakan. Kuajak ibuk menepi di pojok. Aku ingin membicarakan banyak hal kepada ibuk. Lalu, kulirik Pak Nizam duduk setelah dipersilakan Mbak Ufi. Dia memesan kopi kental karena ditawari.
"Fizah, Ibuk pokoke seneng buanget. Sampeyan sampai di sini atas bantuan Pak Nizam."
"Dia justru membiarkanku berjuang di jalanan bersama Ratna, Bu," batinku.
"Nduk, Pak Nizam baik banget, Ya Allah."
Aku sedikit tak dapat menerima perkataan ibuk yang terakhir. Tapi, ibuk tidak tahu apa-apa. Yang ibuk paham memang aku pamit pergi untuk menemui Pak Nizam. Jadi, aku pun berpikir kenapa Pak Nizam tidak mengatakan yang sejujurnya pada ibuk karena aku tidak perlu menjelaskan sikapnya padaku. Menjelaskan bukanlah tugasku. Tapi, kewajiban yang harus dia penuhi.
"Yang membantuku namanya Yazeed, Buk." Aku masih membungkam diri.
"Sampeyan kok bisa langsung di ndalem kesepuhan Kiai, Nduk? Kiai siapa namanya?"
"Kiai Bahar dan Bu Nyai Ridhaa, Buk. Mereka pengasuh yang sangat gemati. Begitu datang, aku disambut dengan sangat baik. Untuk menerimaku, mereka tidak membutuhkan banyak pertimbangan. Kebetulan mereka juga butuh orang ndalem yang bersedia tidur di ndalem sini. Gus Fakhar, itu putra sulung Kiai, dia juga baik padaku. Tapi, aku masih terlalu sungkan akrab dengan mereka bertiga, Buk."
"Bener, Zah. Adab kudu tetep dijaga, yo. Ojo blayakan (jangan sembarangan). Ini ndalem orang alim. Banyak peraturannya. Ibuk pesen pokoke tata kramane kudu apik, yo. Kalau diutus apa-apa cepet-cepet sendiko dhawuh (siap segera). Sampeyan iki lagi ngabdi neng wong ngalim (kamu ini sedang mengabdi pada orang alim)."
Kudengarkan nasihat ibuk sepenuh hati.
"Ibuk bener kok. Aku berusaha menjaga diri sebaik mungkin di sini. Aku damai di sini, Buk."
"Terus Ratna di mana?"
"Ratna di pondokan Darul Amin. Setengah jam dari sini, Buk. Di sana tempatnya jauh lebih bagus. Seperti hidup di perkampungan."
"Lha nyapo (kenapa) kamu ndak ikut Ratna?"
"Meski begitu, hatiku pengennya di sini, Buk. Lebih cocok aja."
"Ya sudah. Sembarang pokoke bisa nyari ilmu semuanya. Ratna sehat terus, kan, Nduk?"
"Alhamdulillah dia semakin baik."
"Ibuk apa bisa ketemu Ratna, Nduk? Ya mumpung Ibuk ada rencana nginep."
"Ibuk mau nginep?" Nadaku sedikit meninggi.
"Ibuk sudah bawa baju ganti. Tapi, Nduk, Pak Nizam masih mau mengizinkan. Kalau boleh, ya, alhamdulillah dua hari Ibuk bisa ketemu kamu."
Setelah kupikir-pikir ada baiknya aku meminta tolong kepada Gus Fakhar supaya mengirim pesan kepada Yazeed. Siapa tahu saja Yazeed longgar dan bisa ke sini lagi.