*POV Ranaa Hafizah
Ba'da subuh ndalem selalu kosong. Kiai, bu nyai, dan Gus Fakhar sedang kegiatan bersama santri. Karena ini minggu, aku mengepel ndalem dan mengurasi kamar mandinya. Lalu, Mbak Ufi dan santri lainnya yang dipanggil pengurus sedang memasak bakso. Ada spesialis baksonya yaitu Mbak Ufi sendiri. Katanya pandai, tapi aku belum pernah mencobanya karena menu ini juga jarang sekali disajikan. Bisa tiga minggu sekali tiap akhir pekan saja. Lalu, ibuk tadi kupamiti ke ndalem. Tadi malam kami tidur bersama di kamar tamu pondok putri.
Aku dan santri utusan bu nyai yang melakukannya. Lumayan capek karena aku harus menguras tiga kamar mandi di kamar pribadi bu nyai, Gus Fakhar, dan kamar mandi dapur. Lalu, santri bernama Mbak Nuansa lebih dulu mengepel kamar. Kami memulainya sejak pukul empat karena kami tengah berhalangan. Sejam berlalu. Aku sudah selesai mengurasnya, tinggal menunggu air di bak mandi penuh. Aku langsung membantu Mbak Nuansa melanjutkan ngepel kering.
"Mbak, mending kamu langsung pel ruang tamu dan teras saja."
"Gitu?" Aku mengangguk. "Ya sudah."
Aku melangkah ke ruang tamu. Gus Fakhar muncul di tengah pintu. Berjingkat-jingkat ke dalam.
"Gus, ngapunten kamar mandi baru saya kuras."
"Kamar mandiku?" Kaget.
Aku mengangguk polos.
"Waduh."
"Tadi semua pakaian kotor yang berserakan di dalam kamar dan kamar mandi sudah saya jadikan satu. Sudah saya rendam sekalian."
"Semuanya?" Memastikan lagi.
"Enggeh. Ada apa, Gus? Tadi saya diutus Bu Nyai."
"Oh, gitu. Lain kali nggak usah. Biasanya aku sendiri yang nguras."
"Enggeh."
"Airnya sudah penuh belum?"
"Paling sudah separuh, Gus."
Gus Fakhar langsung pergi.
Aku mengepel ruang tamu.
Lima menit Gus Fakhar kembali. Kulihat beliau memegang alat pel-pelan.
"Aku bantu, Za."
"Tidak usah, Gus."
"Nggak apa-apa."
"Tidak, Gus."
"Diam kamu. Dibantu kok malah ngomel." Gus Fakhar melakukan yang beliau suka. Aku tak bisa mencegah.
"Saya tidak enek sama Bu Nyai, Gus."
"Ya sudahlah. Bilang aku yang pengen ngepel. Nggak usah ribet gitu," jawabnya sembari mencelupkan alat pel ke air bersih.
Akhirnya kami menyelesaikannya berdua. Pekerjaan memang menjadi lebih cepat sebelum kegiatan santri rampung. Jadi, bu nyai dan kiai tidak tahu Gus Fakhar membantuku ngepel. Tapi, aku sungkan. Tapi, mungkin Gus Fakhar juga membantu pada Mbak Ufi ketika melakukan pekerjaannya.
"Ibukmu di mana?"
"Masih di kamar tamu, Gus."
"Iz, aku makasih kamu sudah biasa bicara denganku."
"Maksud njenengan?"
"Kamu sadar nggak? Dulu kamu itu seperti es. Ngomong nggak pernah sebanyak ini. Sekarang aku seperti sedang bicara dengan Mbak Ufi. Tandanya kamu sudah mulai terbiasa."
Gus Fakhar memang benar. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa. Semakin sering beliau mengajakku bicara, mendekatiku, aku dengan sendirinya merasa semakin terbiasa. Dengan catatan aku tetap menjaga jarak.
"Makasih, ya."