*POV Ibban Nizami
Aku duduk di depan ndalem seraya memainkan ponsel. Menjawab pertanyaan mahasiswa dan mahasiswiku di chat.
Sembari memandang lurus ke depan, aku berpikir. Sikap Fizah padaku semakin dingin. Namun, saat tadi aku tidak sengaja lewat di depan dapur, ada dua orang yang terlihat sangat akrab. Kukira Mbak Ufi dan Gus Fakhar. Ternyata perempuan yang berdiri mencuci piring di wastafel itu Fizah. Dia dan Gus Fakhar sedang membersihkan peralatan kotor yang baru mereka gunakan untuk memasak.
Lantas keluarlah seorang perempuan memakai sandal jepit kuning. Dia membenahi ujung kerudung seraya menampakkan raut wajah masam. Ada yang berkilau di jari manis kirinya. Tampaknya itu cincin tunangan. Aku tidak kenal dia siapa. Tetapi, perkiraanku dia juga abdi ndalem. Dia bertabrakan dengan Mbak Ufi yang sedang membawa piring dan gelas bersih.
Dadi tempatku duduk, aku bisa mendengar percakapan mereka. Tapi, mungkin mereka tidak sadar aku sudah duduk dari tadi di sini.
"Mbak Ulya kenapa, Mbak?"
Wajah Mbak Ulya agak menunduk. Dia ingin menghindari pertanyaan Mbak Ufi, tapi Mbak Ufi menghadang.
"Mbak Ulya kenapa lo?"
"Aku tanya sesuatu, tapi kamu jawab jujur, ya."
"Enggeh, Mbak. Apa? Aku penasaran kok Mbak Ulya kayak kesel gitu."
Dia menyisih, lalu berbicara lirih, "Mbak, sejak kapan Gus Fakhar dekat dengan Iza?"
"Waduh. Kalau itu saya kurang tahu, Mbak. Beneran." Dia mengangkat kedua jarinya.
"Lihat saja mereka berdua di dalam?"
Aku menoleh ke belakang. Mbak Ufi memastikan yang dikata Mbak Ulya. Beberapa langkah dia kembali mendekati Mbak Ulya.
"Yang aku tahu, Mbak Ul. Yang bikin ide lomba masak ini emang Gus Fakhar. Tapi, awalnya cuma berdua dengan Iza. Bu Nyailah yang nyuruh Mbak Ulya supaya ikut. Tadi pagi pas Iza ngepel, Gus Fakhar bantuin dia. Maaf banget, Mbak Ul, aku cuman menjawab pertanyaan Mbak Ulya. Itu kata Iza sendiri. Punteeeen."
"Kira-kira maksud Gus Fakhar apa?"
"Kenapa tidak Mbak Ulya tanyakan langsung ke Gusnya?"
"Aku sungkan, Mbak."
"Tadinya saya dan Nuansa mikirnya, sih, beda. Secara Gus Fakhar itu nggak pernah bantuin saya beres-beres. Giliran Iza yang baru sebentar di sini, dia sekarang cukup dekat dengan Gusnya. Tapi, sikap Iza biasa kok, Mbak. Tetap kayak biasanya. Apa Mbak Ulya tanyakan ke Ummik saja gimana?"
Mbak Ulya menghela napas.
"Kalau ada sesuatu yang kamu tahu, kamu beritahu aku, Mbak Fi."
"Nggeh. Insyaallah. Aku ke dalam dulu. Mau naruh piring yang dipakai ibunya Iza."
"Memangnya kapan tamunya pulang?"
"Setelah magrib katanya, Mbak."
Aku bangkit. Memasukkan handphone ke saku. Lalu, Mbak Ulya menanyaiku, "Siapa kamu?"
Aku menoleh. "Tamu, Mbak."
Mbak Ufi berbisik, "Dia itu Pak Dosen, Mbak. Yang datang bersama Ibunya Iza. Yang kemarin melamar Iza."
"Dilamar? Kok aku nggak tahu?" Agak melotot ke arah Mbak Ufi.