*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
"Kamu minta hadiah apa dariku?" Aku berbisik padanya. Tapi, Iza pasti tidak akan mau menjawab. Aku sudah tahu itu. Dia tidak akan pernah mau mengutarakan keinginannya seandainya pun dia menginginkan. Bisa jadi dia tidak menginginkan apa-apa. Aku memberinya senyum.
Ummik dan abah pamit dari ruang tamu. Mbak Ufi, Mbak Nuansa, dan Mbak Ulya pun turut membuntut. Tinggallah Mas Yazeed, Ratna, ibunya Iza, Kang Nizam, aku dan Iza. Iza kutahan pergi karena ada Ratna.
"Kamu temani Ratna, Iz."
"Saya mau ke dapur dulu."
"Di sini saja."
Dia mengalah.
Aku membuka percakapan, "Kalian mirip. Ketemu kembaranmu, Mas."
Mas Yazeed menatap Kang Nizam.
"Anda dari mana, ya? Alamat."
"Dari Tulungagung."
"Asli Tulungagung?"
"Banyuwangi?"
Aku menyimak.
"Banyuwangi daerah mana?"
Kang Nizam pun menjelaskan beberapa larik kalimat.
"Bisa kita bicara sebentar di luar?"
Kang Nizam mengangguk. Mereka berdua menyisih untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Ibunya Iza mendekati Ratna. Mengajak Ratna berbicara daripada terlihat bengong sendiri.
Aku berbisik pada Iza, "Nanti malam atau besok kita pergi dengan Kang Bimo gimana?"
"Ya Allah, Gus. Maaf saya tidak berani."
"Kenapa nggak?"
"Sekalian ajak Mbak Ufi juga. Mbak Ufi kadang tak suruh ikut kalau saya pergi. Apalagi perginya dengan Ummik. Mbak Ufi dan Mbak Ulya pasti ikut."
"Tapi, Gus?"
"Tapi kenapa?"
Pandangan Fizah melirik ke arah lain. Aku mengikuti tatapannya. Kang Nizam curi pandang ke arahnya.
"Iz, kenapa?"
Dia kembali menatapku setengah menunduk. "Saya takut Bu Nyai marah, Gus."
"Karena aku sudah tunangan dengan Mbak Ulya?"
"Enggeh."
"Ehmmm."
"Njenengan tidak perlu repot-repot, Gus. Beneran."
"Atau kamu pengen apa? Makanan, baju, atau minuman, Alquran baru? Bilang aja. Anggap aja ini hadiah karena kamu hampir tiap malam mijati Ummik."