*POV Ranaa Hafizah
Rasanya aku tidak ingin membiarkan ibuk ke Tulungagung. Masih kangen walaupun dua hari sudah bertemu dengan ibuk.
"Ibuk sehat-sehat terus."
"Ibuk pasti sehat. Dungo dinungo (saling mendoakan), Nduk."
Aku mencium punggung tangan ibuk lama. Ibuku yang luar biasa. Jarang mencampuri urusanku. Yang amat percaya dengan semua yang kulakukan. Termasuk sampai sekarang ibuk tidak tahu apa pernah terjadi padaku. Dengan mengetahui aku bekerja di pabrik, ibuku sudah merasa cukup dengan jawaban itu. Juga tak pernah menanyai latar belakang kehidupan Ratna ketika ibuk cukup tahu bahwa Ratna pernah amnesia.
"Nduk, sekarang Ratna tambah gendut, ya, Fizah."
"Iya, Buk."
"Alhamdulillah semoga Ratna juga selalu sehat. Waras lahir batin."
Pak Nizam membukakan pintu untuk ibuk.
Ibuk mencium keningku, menatapku sebentar, lalu masuk mobil. Pak Nizam masih di luar hendak mengajakku bicara.
"Kapan Ratna menikah?"
Sontak aku kaget. Kenapa dia bertanya begitu? Tapi, aku menahan tanya daripada aku salah bicara.
"Kapan dia menikah? Apa dia hamil?"
"Maaf. Itu bukan urusan Pak Nizam."
"Pria tadi mengaku sebagai suaminya."
Aku membelalakkan mata.
"Maksud Pak Nizam Yazeed?"
"Iya. Aku akan bercerita sedikit. Aku sempat mencarimu waktu itu. Aku pergi ke Bidan karena kupikir kalian ke sana. Bidan itu memberitahu informasi. Katanya kalian datang mau menemui mertua Ratna. Bener begitu?"
"Iya. Pak Nizam ada apa? Kenapa masih mempertanyakan Ratna?"
"Bidan bilang suami Ratna sudah meninggal. Anak yang dikandungnya sekarang itu anak suaminya yang pertama. Begitu maksudnya?"
Aku khawatir salah menjawab. Dan, kenapa juga Yazeed mengaku suaminya Ratna? Apa yang telah terjadi?
"Sudahlah, Pak. Jika memang Pak Nizam tidak peduli dengan perempuan seperti kami, lebih baik Pak Nizam segera pulang. Bukankah berhadapan dengan perempuan seperti saya itu menjijikkan? Maaf. Saya minta tolong Pak Nizam menjaga Ibuk sampai rumah. Terima kasih. Saya permisi."
Gus Fakhar tersenyum padaku.
"Jangan lupa. Apa pun hadiah dariku, kamu harus terima, Iz."