*POV Ranaa Hafizah
Kulihat Gus Fakhar sangat lahap memakan nasi gorengku.
"Makan ditemenin kamu enak kali, Iz. Duduk gih!" celetuknya. Kontan aku disenggol Mbak Ufi.
"Sikapnya Gus Fakhar itu aneh tahu nggak," bisiknya.
"Oh, iya, kenapa Ning Ulya dua hari tidak ke sini?"
"Emboh, sih. Cemburu paling. Masih kesel sama kamu."
Aku pun menoleh ke samping. "Eh, beneran begitu, ya?"
"Kira-kira. Pengen tahu jelasnya mending samperin ke kamarnya aja langsung. Aku kebanyakan tanya ke Mbak Ulya juga sungkan. Dia kan anak kiai. Jaga sopan santun juga, kan."
Aku kembali memperhatikan Gus Fakhar.
Gus Fakhar menatapku. "Iz, duduk sini!" Mulutnya masih mengunyah.
Kukira Gus Fakhar bercanda. Ternyata tidak. Beliau menepuk kursi. Isyarat.
"Mbak Fi, makan juga sana!" katanya lagi.
"Makano, Mbak Fi! Tadi katanya minta bagian. Kiai dan Bu Nyai sudah sarapan tadi. Tapi, sedikit. Itu masih sisa banyak."
"Iz, aku nambah lagi." Sampai harus pamitan juga. Aku geleng-geleng menyaksikan tingkah makan Gus Fakhar yang amat kelihatan menikmati. Wibawanya beliau hilang seketika.
"Nggak usah heran, Iz. Gusnya emang begitu cara makannya kalau beneran suka. Kalau cocok sama masakanku atau masakan Ummik, sampai nambah sampai tiga kali itu."
"Yakin gitu?"
"Yakinlah. Masak enggak."
"Aku tahu kalian bisik-bisik ngomongin aku," celetuknya.
Aku dan Mbak Ufi langsung terkesiap.
"Ayo makan bareng-bareng, Mbak! Atau, ini aku habiskan semuanya lo."
"Eh, jangan, Gus. Saya tadi sudah pesen sama Iza kok. Tak suruh nyisain setelah njenengan selesai makan." Mbak Ufi menyahut seketika.
Aku dan Mbak Ufi tetap saja tidak mau mendengarkan perintah Gus Fakhar. Secara masak mbak ndalem makan bersama di meja makan bersamaan dengan Gus Fakhar. Dan, melihat makannya beliau yang lahap itu menyenangkan.
Tibalah malam. Bulan tak sedang bercahaya terang. Aku duduk di depan pintu samping. Depan dapur. Pintu masih kubiarkan terbuka. Melihat langit seraya mendengarkan lantunan diba' dan barzanji. Pelantunnya pun bersuara indah. Semakin menentramkan hatiku. Apalagi, ketika ya nabi salam dilantunkan dengan nada sangat semangat. Akhirnya, aku memang sudah sampai pada titik ini. Berada di tempat yang membawa kedamaian hidup. Walaupun masih ada rasa takut jika suatu waktu aku tak berada di sini, aku masih akan berurusan dengan Pak Su dan Mas Hakim. Semoga saja Yazeed bisa menaklukkan Mas Hakim yang menurut Yazeed hanya dimanfaatkan Pak Su.
Aku melihat Gus Fakhar muncul dari gerbang. Menggandeng Kang Bimo, sopir Kiai Bahar. Motor diparkir di bawah kanopi. Kang Bimo menenteng dua kresek yang isinya seperti berkat (makanan).
"Iz, ayo masuk!" pinta Gus Fakhar setelah berjalan mendahului Kang Bimo. Beliau masuk ndalem lewat pintu depan. Membawa satu kresek entah apa isinya.
"Dari mana, Kang?"
Wajahnya agak gugup. Kang Bimo menjawab pertanyaanku dengan suara agak getar, "Slametan di rumah warga. Badali (menggantikan) Kiai, Mbak."
"Ini satunya njenengan bawa ke dapur, Mbak!"
"Punya Gus Fakhar?"
"Nggeh. Suruh memberikan ke njenengan saja katanya."
"Terima kasih."
Kang Bimo ke kamarnya. Membawa berkat miliknya sendiri.
Aku masuk lewat pintu samping. Kulihat di meja sudah ada bungkusan kertas minyak. Kelihatan tusukan bambu dari luar.