*POV Yazeed Akiki Mubarak
Setelah melatih beladiri, aku pergi sendiri ke ndalem Kiai Bahar, Pesantren Al-Furqan. Aku memperbaiki penampilan sebelum menaiki mobil. Entahlah aku cukup nervous malam ini. Niat baik harus secepatnya diungkapkan. Aku tidak mengharapkan apa pun selain rida Allah. Jika sudah menjadi bagian dari catatan Lauhul Mahfuz, maka semuanya akan diamanahkan kepadaku. Begitu yang kukatakan pada diriku sendiri sebelum menyalakan mobil.
Mobil sedan reyot menyala. Lantas berpacu dengan kecepatan angin yang cukup kencang. Malam ini sedang purnama. Cahayanya mengantarkanku sampai ke gerbang Pesantren Al-Furqan. Hanya lima belas menit, kecepatan maksimum.
Aku sudah mengatur janji dengan Kiai Bahar. Tepatnya kemarin malam. Dan, beliau mempersilakanku datang ke sana ba'da magrib langsung. Sebab, ba'da isya beliau ada acara, menghadiri undangan pengajian rutinan. Langkahku belok menuju musala putra yang berjejer langsung dengan ndalem. Kiai Bahar masih ada di sana sendirian. Terlihat hanya ada sepasang sandal. Dan, kelihatannya kegiatan setelah magrib diliburkan.
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh."
Aku langsung duduk bersila di depan beliau.
"Kok dongaren klambine sampeyan ndak koyo biasane?"
Terjemah: (Kok tumben bajumu tidak seperti biasanya?)
"Suasana baru, Yi." Aku tersenyum lebar.
"Sampeyan rene ngaturi undangan opo?"
Terjemah: (Kamu ke sini memberikan undangan apa?)
Aku mengeluarkan undangan di tas kecil yang terselempang di dadaku.
"Ini, Yi. Saya mengundang panjenengan sekalian, sekaligus Gus Fakhar." Kusodorkan undangan berwarna putih itu.
Kiai Bahar membacanya.
"Kok yo gelis, sampun mendak setahun."
Terjemah: (Kok ya cepat, sudah satu tahun)
"Nggeh."
"Sampeyan sing sabar. Menowo gantine luweh apik eneh."
Terjemah: (Kamu yang sabar. Barangkali gantinya lebih baik lagi)