*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
Sudah tiga laki-laki yang kepincut dengan Iza. Laki-laki pertama gagal. Iza tidak tertarik pada Kang Nizam sejak awal. Padahal bila dilihat sepintas, Kang Nizam yang kutahu berprofesi sebagai dosen itu laki-laki yang cukup layak untuknya. Lalu, tiba-tiba Mas Yazeed datang membawa maksud lain. Aku lumayan terkejut dia punya niat yang seserius itu. Tapi, melihat tiga kali pernikahannya yang tidak membuatnya bisa berputra sampai sekarang, barangkali itu yang mendorong keinginannya untuk segera mencari pengganti sampai takdir mempertemukannya dengan perempuan yang bisa memberinya keturunan. Di luar itu aku tidak tahu.
Pria ketiganya yaitu aku sendiri. Aku juga bisa mengutarakan hal yang sama andaikata aku belum terikat dengan perempuan mana pun. Dan, keyakinanku terhadap Mbak Ulya tidak semakin tumbuh. Melihat Iza berlalu lalang setiap hari di ndalem, dia yang semakin dekat dengan ummik, dan memperlihatkan kekhasannya sebagai perempuan pemalu dan pendiam, justru itu yang menumbuhkan benih-benih asmara. Tapi, kadang aku menangkap suasana lain yang tidak kupahami.
Setelah aku pun berpikir yang sama seperti Yazeed—hanya saja aku tidak akan pernah punya kesempatan yang sama jika Allah tetap menjaga kelangsungan lamaranku—Iza masih dini untuk menerima pernikahan dengan siapa pun. Dia punya mimpi yang besar. Aku saja tidak pernah berpikir melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Tapi, kupikir dia gadis biasa yang punya talenta besar. Dan, belum ada yang tahu apa saja yang sesungguhnya dia ketahui.
Aku berharap Iza tidak menerima lamaran Mas Yazeed. Aku harap dia ingat dengan semua cita-citanya. Tapi, ketika dia mendengarkan kalimat demi kalimat yang kejujuran yang dijelaskan Mas Yazeed, dia menunjukkan rasa welasnya. Perubahan di wajahnya itu sudah sangat jelas. Tidak ada ketegangan. Terlebih lagi ketika Mas Yazeed menegaskan kesungguhan itu, Iza meremas kedua tangannya. Lalu, dia menatapku sembari tersenyum. Tatapannya kali ini tidak dapat kuterawang apa maksudnya. Apa saja yang telah terjadi di antara mereka sampai keduanya terlihat saling mengharapkan? Tapi, aku masih berharap sekali lagi supaya Iza tidak terburu-buru. Jika dia tidak menemukan suami yang benar-benar merestuinya dalam banyak hal, mimpinya akan sinar. Kurang lebih aku paham apa penyebab perceraian Mas Yazeed dengan istri pertamanya. Aku mengkhawatirkan Iza.
"Nduk, sampeyan ndang age-age matur Ibuk. Pripun dhawuhe. Bene mboten kesuen. Ibuk sampeyan kudu paham."
Terjemah: (Nduk, kamu harus cepat-cepat memberitahukan ini kepada Ibuk. Bagaimana pendapatnya. Supaya tidak terlalu lama. Ibukmu harus paham)
Iza mengangguk.
"Lek omong-omongan ndak usah suwi-suwi. Sekirane cukup yo uwis. Abah arepe budal."
Terjemah: (Kalau berbincang-bincang tidak usah lama-lama. Sekiranya cukup ya sudah. Abah mau berangkat)
Aku dan Mas Yazeed sungkem abah. Lalu, menjawab salam beliau.
"Fi, melu mlebu kono lo, Nduk!"
Terjemah: (Fi, ikut masuk sana lo, Nduk!)
Aku menoleh ke kiriku. Ternyata Mbak Ufi menunggu di luar musala.
*POV Ufi Yasmina Madah