*POV Ranaa Hafizah
Dugaan Mbak Ufi seringkali benar. Dia punya intuisi yang bagus. Dia juga cepat memahami sikap seseorang. Benar katanya. Aku antusias menyambut kedatangan Yazeed malam ini walaupun sejujurnya di hadapan Kiai Bahar dan Gus Fakhar aku merasa sungkan. Tapi, aku masih bingung bagaimana caranya aku menyampaikan ini pada ibuk. Sedangkan, ponsel saja kami tidak punya. Meminta bantuan kepada Pak Nizam justru tidak mungkin. Aku juga tidak ingin berurusan lagi dengannya sampai dia mau berterus terang kepada ibuku.
Mbak Ufi sudah tidur dulu. Tapi, aku belum bisa memejamkan mata sejak tadi. Sudah habis binnazar dua juz dan murajaah setengah juz yang masih berantakan tidak keruan. Tak berselang lama, ada yang mengetuk pintu. Tidak bersuara. Aku bergegas menyerobot kerudung.
Pintu kubuka.
"Bu Nyai?"
"Nduk, pijetono sikile Ummik."
Terjemah: (Nduk, pijat kakinya Ummik)
"Inggeh." Aku menutup pintunya.
Seperti biasa Bu Nyai Ridhaa akan mapan di tempat tidur yang sudah rapi.
"Mumpung Abah sek durung kundur, Nduk. Sedino ndak sampeyan pijet, Ummik kangen."
Terjemah: (Mumpung Abah belum pulang, Nduk. Sehari tidak kamu pijat, Ummik kangen)
Sejujurnya tanganku hari ini masih sakit jika dipakai untuk menekan sesuatu. Tiba-tiba saja linu seperti baru keseleo.
"Nduk, Ummik opo pareng nyuwun tulung liyane?"
Terjemah: (Nduk, Ummik apa boleh minta tolong lainnya?)
"Boleh, Bu Nyai."
"Ummik pengen ngerti tanda lahirmu. Tapi, lek sampeyan ndak kerso yo ndak usah."
Terjemah: (Ummik ingin tahu tanda lahirmu. Tapi, kalau kamu tidak bersedia ya tidak perlu)
Aku bingung mau menjawab apa. Aku malu. Pasalnya jika aku membuka sebagian pundakku, Bu Nyai Ridhaa pasti akan menanyakan bekas luka yang ada di sana. Luka yang pernah kuterima dari pria yang memaksaku menuruti kehendaknya.
"Ya uwis lek sampeyan ndak kerso."
Terjemah: (Ya sudah kalau kamu tidak bersedia)
"Ngapunten, Bu Nyai."
Bu nyai tersenyum.
"Nduk, Ummik pengen ngrangkul sampeyan pisan ae, Nduk. Cobo. Ummik kangen karo Tsaniya, Nduk!"
Terjemah: (Nduk, Ummik ingin merangkul kamu sekali saja, Nduk. Ummik merindukan Tsaniya, Nduk!)
Bu nyai menyandarkan punggungnya ke tembok. Aku mendekat. Dan, beliau seketika itu meraih pundakku seperti benar-benar memeluk putrinya. Hatiku gamang menilai perasaanku sendiri. Mataku terpejam merasakan pelukan itu. Pelukan yang sangat tulus.
"Bobote sampeyan piro lo, Nduk?" Sembari melepaskan.
Terjemah: (Berat badanmu berapa lo, Nduk?) Sembari melepaskan.
"Empat pulih empat, Mik."