*POV Ranaa Hafizah
Sebelum jamaah subuh.
"Perih juga," gumamku seraya memakai mukena.
"Perih kenapa?" tanya Mbak Ufi yang sedang mengusap wajah dengan handuk.
"Tadi malam itu..e...Gus Fakhar dan Bu Nyai minta dibuatkan nasi goreng. Tapi, pas aku iris-iris bawang, aku nglamun, Mbak. Darahnya banyak ini. Sobeknya cukup dalam."
"Ya Allah, piye (bagaimana) itu...sekarang sudah diperban lagi apa belum?"
"Belum. Ndak usah, Mbak. Nanti saja daripada kita masbuk jamaah."
"Mbak, Mbak, kamu hati-hati lo, ya."
"Maksudnya?" Aku mengerutkan dahi. Mengambil sajadah.
"Yang ngeringkasi darahmu tadi malam siapa?"
"Gus Fakhar."
"Nah, nah itu. Itu, tuh. Gimana kalau Gus Fakhar berinisiatif menggunakan darahmu untuk dites DNA?"
"Mosok iya Gus Fakhar kepikiran tes DNA?"
"Ehm, kemarin Gus Fakhar, kan, sudah aku kasih tahu kalau kamu punya itu..eemm...tanda lahir. Tinggal menunggu waktu, nih."
"Mbak, kamu jangan bikin aku grogi dong."
"Lihat aja nanti, Mbak Iz. Yuk, jamaah."
Ba'da jamaah subuh.
Semalam aku kepikiran ingin meminta tolong pada Gus Fakhar saja. Hanya beliaulah yang siap kumintai tolong kapan pun.
"Bentar, Mbak, ya. Aku mau ke sana dulu." Kuberikan sajadahku pada Mbak Ufi.
Aku memburu langkah Gus Fakhar yang hendak melepas sandal. Beliau pun menoleh karena mendengar berisik sandalku.
"Ngapain lari-lari begitu?" Beliau memperhatikan tanganku.
"Mana perban jarimu?"
"Nanti saya pasang lagi, Gus."
"Tapi, darahnya dah nggak keluar lagi, kan?"
"Mboten (tidak)."
"Terus ada apa ini?"
"Gus, saya minta tolong izin keluar pondok."
"Ngapain?"
"Saya mau kirim surat."
"Untuk siapa? Ibukmu?"