*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
"Le, Ummik pesen sampeyan lek numbasne baju sing apik menisan. Sing sekirane Mbak Ulya demen lo."
Terjemah: (Le, Ummik pesan, kamu kalau membelikan baju yang bagus sekalian. Yang sekiranya Mbak Ulya suka)
Di dalam mobil.
"Kapan, Gus, rencana menikah?"
"Belum tahulah kapan. Nggak mikir ke situ. Kamu sendiri gimana? Diem aja, Kang."
"Sebetulnya saya menyukai seseorang, Gus. Tapi kok malu mau bilang."
Kang Bimo lebih tua dariku. Dua puluh enam tahun. Menjadi sopir ummik sejak tiga tahun lalu. Dialah yang sering menemani kami bepergian ke mana pun.
"Siapa, Kang? Aku kenal?"
"Kenal, Gus." Dia tersenyum malu.
"Bukan Iza, kan?" Aku asal menebak saja. Jika aku saja terpincut dengannya, bisa jadi santri-santri putra diam-diam menyukainya.
"Hmm...anu...bu...bukan, Gus. Bukan."
"Terus siapa?"
"Emm...tidak jadi saja, Gus."
Aku membuka kaca mobil. Ada beberapa toko baju yang berderet-deret. Dan, aku melihat ada gamis bagus yang dipajang di manekin.
"Kang, berhenti! Minggir di toko baju itu."
Mobil melipir ke pinggir jalan. Sebelah kiri jalan. Aku turun lebih dulu.
Gamis yang ada di manekin itu berwarna hijau mint. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Tapi, menurutku itu cocok untuk dia. Aku masuk ke toko itu.
"Kang, yok masuk!"
Kang Bimo tidak jadi menyalakan rokoknya.
"Katanya tadi sarung, Gus?"
"Mbak, gamis itu berapaan?"
"Dua ratus delapan puluh lima ribu, Pak."
Aku menoleh ke Kang Bimo. "Bagus nggak menurutmu?"
"Mbak Ulya cantik. Tinggi juga. Insyaallah pantes, Gus."
"Tahu juga kalau dia cantik. Diam-diam kamu memperhatikan yo."
"Hehehe. Punten, Gus."
"Kayaknya itu kebesaran, deh, Mbak. Ukurannya apa itu?"
"Itu L. Mau ukuran apa, Pak? Sisa ukuran XS dan S."
"Harganya sama?"
"Untuk XS selisih dua puluh ribu, Pak."
"Oke. Ambil yang S saja."
Kang Bimo mencolek. "Gus, kerudungnya bagus juga, Gus. Njenengan tidak ingin lihat-lihat. Barangkali ada yang cocok untuk Mbak Ulya. Saya bantu, Gus."