*POV Ranaa Hafizah
Tiga hari kemudian surat balasan itu sampai. Mbak Ufi yang menerima surat yang diantarkan oleh tukang pos. Dia langsung memberikan padaku saat aku istirahat di kamar setelah mencuci pakaian Bu Nyai Ridhaa dan Kiai Bahar. Kini surat itu telah berpindah ke tanganku. Aku semringah membayangkan jawaban ibuk yang senada dengan pikiranku.
Assalamu’alaikum, Fizah.
Sehat to, Nduk? Ibuk sehat banget. Anak Ibuk kok ternyata banyak yang suka to alah Gusti. Ibuk sampek bingung mau jawab piye (bagaimana). Sebelum ibuk jawab, memangnya opo sampeyan menyukai pria itu? Kok kalau Ibuk baca suratnya, sampeyan banyak memujinya. Yo seakan-akan dia memang pria yang baik. Nduk, tapi kalau Ibuk disuruh jujur, Ibuk kok tetap srek (cocok) sama Mas Nizam. Soale Ibuk kenal betul. Yo setidaknya Ibuk ngerti sedikit latar belakangnya, cara dia berkomunikasi dan memperlakukan orang lain. Tindak-tanduk (tata krama) seorang pria patut dipuji. Dia antusias membantu keluarga kita. Berilmu, saleh, tampan, sederhana, dan mapan. Gusti, sewu siji (seribu satu), Nduk. Ibuk berkata begini bukan berarti sampeyan harus manut endak. Ibuk cuman menyampaikan pendapat seperti sing sampeyan minta. Soal Yazeed itu...ya...Ibuk hanya bisa menilai dari yang kamu ceritakan. Sama baiknya, tapi beda status dan pengalaman hidup. Sekarang Ibuk tanya, kira-kira lebih berisiko mana hidup bersama Mas Nizam atau Yazeed itu? Berapa banyak masalah yang mungkin saja bakal sampeyan adepi (hadapi)? Nah, kui bisa sampeyan jadikan pertimbangan. Sisane Ibuk tetep seperti biasa, Ibuk serahkan keputusan akhirnya ke sampeyan. Ibuk manut asalkan sampeyan mantap atine, orang tua, dan keluarga ndalem pondok ndak ada yang keberatan. Kemarin Mas Nizam bantu-bantu Ibuk jualan di pasar, Nduk. Mugo-mugo tansah pinaringan sehat lahir batin (semoga senantiasa diberikan sehat lahir batin). Titip salam kanggo (untuk) keluarga ndalem. Assalamualaikum."
Tidak ada keputusan pasti. Setengah kesal sebab ibuku masih memuji Pak Nizam. Tapi, memang juga wajar bila ibuku tidak langsung menyetujui. Justru itu akan terasa aneh bila ibuku serta-merta mengiyakan. Karena persetujuan menandakan ibuk sudah siap pasrah. Sementara ibuku belum pernah mengenal Yazeed. Walaupun ibuku memberikan kelonggaran bagiku untuk memilih, tapi terselip keinginan di sana. Aku gamang.
Memangnya apa aku sudah siap? Apa aku siap menerima semua hal tentang Yazeed beserta masa lalunya? Bukankah Yazeed punya latar belakang hidup yang sangat keras dan penuh perjuangan? Juga pernikahan yang kelam. Pertanyaan demi pertanyaan muncul sesaat setelah ibuku menyuruhku memikirkannya lagi. Lalu, apakah pernikahan juga menjadi satu hal yang kuperjuangkan setelah aku keluar dari kolong sampah? Bukankah aku punya banyak mimpi seperti yang dikatakan Gus Fakhar? Bukankah aku masih tujuh belas tahun? Usia yang masih terlalu dini untuk memikirkan pernikahan walaupun aku justru soal hubungan dua manusia. Tapi, aku menyambut dengan sepenuh hati ketika Yazeed datang melamar.
"Mbak, serius amat? Pasti galau mikir lamaran kemarin, kan?"
"He.em."
"Aku kasih saran, nih, ya. Kamu masih kecil. Tujuh belas itu baru keluar SMA lo. Lagipula kesehatan reproduksi itu rawan bagi yang menikah muda, abis itu langsung punya anak. Santri sini banyak lo yang usianya sejajaran kamu. Tapi, mereka masih fokus mondok. Cari ilmu. Mending gini aja, Mbak Iz. Kamu tantang aja Gus Yazeed. Kalo dia emang serius, dia bakalan mau nungguin kamu. Gus Yazeed lo belum tua. Masih muda juga. Dulu katanya Gus Fakhar nikahnya usia dua dua kalo nggak dua tiga. Eh, dua dua. Bukan deng. Dua tiga. Hmm...lupa aku. Pokoknya kisaran itu. Mosok nungguin tiga empat tahunan nggak sabaran. Gimana? Saranku ada yang masuk ngga kira-kira? Sory, Iz. Sekalian biar kamu temani aku ngejomblo. Bukan, eh. Singlelillah." Dia tertawa lirih.
Mbak Iza ada benarnya.
"Tapi, aku kok sungkan minta Gus Yazeed nungguin."
"Menguji kesungguhan laki-laki itu. Hehe. Sekali pun yang diuji anak kiai. Tes kesetiaan pranikah."