*POV Ranaa Hafizah
"Setuju." Buru-buru disahut. "Se-tu-ju banget. Tapi, agak keteteran kalau jadi abdi ndalem. Tapi, aku alhamdulillah bersyukur sih sudah dapat enam belas juz. Ya Allah, tapi belum ada yang mutqin eeek." Bibirnya cemberut.
"Mbak Ufi ngajimu sudah bagus timbang aku."
"Karena kamu belum setoran ke Ummik. Coba kalau kamu setoran, Mbak."
"Belum mantep. Mau deresan yang lain dulu."
"Deresan kalau disetorkan tambah gereget. Cobaen to! "
"Mosok gitu?"
"Sumpil, dah. Insyaallah begitu sesuai yang aku rasakan, Mbak. Ayo lo! Biar aku ada temene. Makin semangat kalau ada yang mau diajak balapan. Fastabiqul khairat, Mbak Iz. Berlomba-lomba dalam kebaikan."
"Mantepin hati dulu, Mbak. Makasih sudah memberikan aku semangat."
"Iya sama-sama." Dia tersenyum. "Soal Gus Yazeed saranku gitu tadi. Sebelum kamu ngabdi sama suami, perjuangkan dulu dirimu sendiri, Mbak. Susah juga lo merangkai mimpi. Seenggaknya kita ngasih kesempatan diri kita sendiri untuk meraih. Kalau dikasih keberhasilan, itu artinya kan usaha kita dan takdir Allah sejalan. Aku doakan kamu segera menemukan kemantapan hati, ya. Kamu doain aku ada yang melamar. Pengen tahu rasanya aku."
"Kalau langsung cocok gimana, Mbak? Kan hafalanmu masih separuh."
"Sebetulnya lebih, Mbak. Tapi, jangan ditanya berapanya. Sisanya hancur banget."
"Waaah."
"Kok wah? Jangan diwah. Nggak patut dikagumi. Aku mau nanyain sesuatu kok lupa. Itu yang ditasĀ itu gamis dari siapa, Mbak Iz?"
"Hmmmm..." Aku meringis.
"Gus Fakhar pasti. Bener?"
Aku menggigit bibir.
"Ya Allah, itu piye kalo Ummik ngerti. Gus Fakhar ini kayaknya ada apa-apa lo sama kamu. Gusnya bilang gimana pas ngasih ke kamu?"
"Hadiah aku mijitin Ummik."
"Gombal itu, mah."
"Lha gimana, Mbak. Aku juga bingung mau nolak. Secara Gusnya juga baik sama aku. Serius kalau aku bisa menolak, aku tolak. Awalnya aku pengen minta biar beliau memberikan ke Ning Ulya. Tapi, beliau malah sudah bilang Ning Ulya di belikan tiga sarung."
"Ya Allah, ada drama apa di sini? Mbak, aku gemes sama kamu. Gemes. Mosok Gusnya juga suka sama kamu. Walah. Haduh haduh." Mbak Ufi mendadak heboh sendiri. Jujur aku malu bukan main. Padahal, aku tidak pernah menghendaki ini.
"Mbak Ufi, sudah tidak usah bahas itu, ya. Sungkan aku. Jangan sampai Bu Nyai tahu kalau aku dikasih gamis, ya, Mbak. Minta tolong. Aku nggak pengen Bu Nyai duko (marah) atau merasa gimana-gimana. Apalagi, Ning Ulya pasti cemburu."
"Bu Nyai kalau marah tuh diem. Asli gitu. Aku pernah kok didukani (dimarahi)."
"Karena?"
"Waktu itu soale aku pas nyetrika baju, bajunya bolong. Pertama bajunya Bu Nyai. Terus karena aku takut, aku nggak langsung bilang. Bu Nyai tahu dulu. Abis dimarahi, aku mengulangi lagi. Ya Allah, lha gimana yang bolong itu bajunya Kiai yang dibeli pas umrah. Jadi, sekarang kalau baju-baju spesial gitu Bu Nyai otomatis tidak pernah nyuruh nyetrika atau nyucikan. Didiemin sehari sama Bu Nyai, rasanya duniaku dah terbalik. Pengen langsung pulang kampung eee."