*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
Ketika di ndalem hanya ada aku dan ummik, ummik mendekati posisiku duduk di meja makan dapur.
"Mbak Ufi dan Fizah ke mana, Mik?"
"Neng (di) pondok putri."
Aku santai mencari inspirasi desain baju yang akan diproduksi selanjutnya. Fashion casual
pria yang pernah kudesian sebelumnya ternyata cukup menarik minat. Di toko Ning Ala laris manis. Kehabisan stok di produksi pertamanya. Mungkin karena desain yang aku buat sederhana, tapi menarik. Harga yang kubandrol juga tidak mahal. Tapi, awal-awal Ning Ala dan Gus Rayyan komplen harga yang aku pasang terlalu mahal. Takut kalau tidak laku di pasaran. Lantas, harga kuturunkan sepuluh persen dari harga awal sebelum masuk pasaran dengan sedikit perubahan pada desain.
Ummik melirikku sedang apa. Lantas mengajakku bicara, "Mbokyo Mbak Ulya kapan-kapan digawekne desain baju sing istimewa."
Terjemah: (Coba Mbak Ulya kapan-kapan dibuatkan desain baju yang istimewa)
"Belum jadi istri kok, Mik. Nanti sajalah." Dengan tatapanku yang masih fokus ke layar gawai.
"Kok ngoten (begitu), Le?"
"Nggeh begitu, kan, Mik. Bagusnya begitu."
"Barang sing spesial iku kudu diparingne lek pun simah to, Le?"
Terjemah: (Barang yang spesial itu harus diberikan kalau sudah menikah, ya, Le?)
"Ningali sinten sing dikasih."
Terjemah: (Lihat siapa yang dikasih)
"Woh, ngono. Terus iyo gamis ijo sing sampeyan tumbas wingi pundi? Ummik pengen ndelok."
Terjemah: (Woh begitu. Terus iya gamis hijau yang kamu beli kemarin mana? Ummik ingin lihat)
Sontak aku menatap ummik.
"Kemarin, kan, Ummik sudah lihat?"
"Pengen delok maneh."
Terjemah: (Ingin lihat lagi)
Aku gamang menerawang ekspresi ummik yang santai, tapi seperti sedang bermaksud tertentu.
"Aku kasih ke orang, Mik."
"Berarti spesial yo, Le?"
"Waduh," batinku.
"Nggeh...itu...anu...nggeh biasa saja, Mik."