Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #106

Pindah Kamar

*POV Ranaa Hafizah

Masih dalam suasana penuh getar dan debar. Kalimat panjang yang disampaikan bu nyai terakhir kali seketika mengendap dalam benakku. Aku tidak boleh melupakan itu. Dugaanku sebelumnya sudah jelas benar bahwa Gus Fakhar diam-diam mempunyai maksud tertentu.

"Bene mboten kedadean sing aneh-aneh maneh, mulai mbenjing pun sampeyan babuke teng kamar santri ae, yo, Nduk Iz. Mengko lek Ummik butuh sesuatu, sampeyan mrikio."

Terjemah: (Supaya tidak terjadi yang aneh-aneh lagi, mulai besok sudah kamu tidurnya di kamar santri saja, ya, Nduk Iz. Nanti kalau Ummik butuh sesuatu, kamu ke sini saja)

"Mik, nanti kalau ditanya santri-santri lainnya Iza harus menjawab apa?" tanya Gus Fakhar.

"Yo diutus Ummine pindah kamar. Nduk Iza paham to?"

"Paham, Bu Nyai."

"Sampeyan wis jaluk sepuro neng Mbak Ulya?"

Terjemah: (Kamu sudah minta maaf ke Mbak Ulya?)

"Biar aku saja, Mik, yang minta maaf."

Aku menyahut, "Nggeh, Bu Nyai. Saya akan minta maaf lagi." Suaraku semakin pelan. Maluku di ujung tanduk.

Ketika Bu Nyai Ridhaa hendak berdiri, aku seketika melompat dari kursi, menyahut tangan beliau. Aku menyucup punggung tangannya.

"Ngapunten ingkang kathah, Bu Nyai."

Terjemah: (Minta maaf yang sebesar-besarnya, Bu Nyai)

Aku menjatuhkan lutut ke lantai. Menundukkan kepala. Sebelum bu nyai legowo atas kesalahanku yang tidak kusengaja itu, aku tidak berani berdiri dan menatap wajah beliau.

"Ngapunten, Bu Nyai. Ngapunten."

"Za, sudah, Za," ucap Gus Fakhar yang seketika pun berdiri.

"Ummik yo ngapurane, Nduk. Bene mboten dadi angen-angen. Iki nggo pelajaran adewe bareng-bareng."

Terjemah: (Ummik juga minta maaf, Nduk. Supaya tidak jadi pikiran. Ini menjadi pelajaran bersama)

Aku tidak masalah bila harus berpindah kamar. Tapi, bila kuingat sendiri apa penyabab keputusan itu, aku malu sekali terbayang-bayangi kesalahan sendiri. Bu nyai ada benarnya. Aku tidak seharusnya di ndalem. Dan, mungkin suasananya akan lebih baik tanpa aku di sini. Tapi, aku belum terbiasa bercengkrama dengan banyak santri. Aku belum bisa mengendalikan diri dari prasangka-prasangkaku sendiri. Tapi, jika masih diberikan kesempatan, aku ingin tetap memilih di sini. Aku damai berdekatan dengan keluarga ndalem.

"Mik, Iza mungkin masih ingin di sini."

Kudengar suara itu memperdengarkan rasa khawatir.

Ummik berlalu. Membiarkan aku tetap bersimpuh.

Lihat selengkapnya