*POV Ulya Kamala Shansa
Kenapa dulu aku tidak mau membatalkan perjodohanku dengan Gus Fakhar? Itu karena aku mencintainya sejak aku masih sekolah menengah pertama. Dia tidak tahu aku menyukainya diam-diam sejak aku menstruasi pertama kelas delapan semester dua. Aku mengira jika setelah perjodohan itu tiba, aku tidak khawatir dia akan memilih perempuan lain. Rupanya segala kemungkinan akan tetap terjadi. Setelah aku melihat sendiri kedekatan mereka dan yang dikatakan Mbak Ufi, ditambah yang kulihat sekarang, Gus Fakhar mungkin memang menyukai Iza. Dia mampu menyita perhatian Gus Fakhar dalam jangka waktu yang tidak lama. HatiĀ akan selamanya menjadi rahasia Tuhan yang paling sulit ditebak. Kepada siapa ia akhirnya akan berlabuh. Di sini ada penumpang yang siap naik ke perahu bersama sang nahkodanya.
Aku gamang menatap raut muka Gus Fakhar. Dia justru pergi ketika aku memperhatikannya. Meski dadaku panas, terbakar rasa cemburu itu, aku berusaha menahannya. Ini hanya masalah waktu sampai dia benar-benar siap menerima perjodohan. Sampai sejauh ini, takdir kami masih sebatas menerima ikatan pertunangan. Tapi, itu sudah cukup menjadi pembatas bagi kami untuk selalu mengingatnya. Meskipun itu bukan ikatan sah, tapi itu sangat berkaitan dengan yang namanya komitmen. Aku masih harus memperjuangkan Alquranku sampai mutqin, sedangkan dia juga masih harus memperjuangkan ilmu dan bisnisnya. Aku terima pengunduran penetapan tanggal pernikahan kami. Ummik mengatakan pengunduran itu selain karena menunggu kesiapan Gus Fakhar, juga karena beliau menunggu kepulangan Tsaniya.
"Ning?" panggil Iza.
Aku mencoba menyapanya dengan senyum.
"Kenapa bawa barang ke sini?"
"Mbak Iza diutus pindah ke kamar santri."
"Haa? Kenapa begitu?" Aku melangkahkan kaki mendekat.
"Tidak tahu, Mbak Ul. Pokok utusannya Ummik begitu," jawab Mbak Ufi lagi.
"Ada masalah, Iz?" Aku menatap Iza yang kesulitan tersenyum. Kelihatan tengah gelisah.
"Tidak, Ning."
"Sudah kubilang, kan, panggil aku biasa."