*POV Ibban Nizami
Aku melanjutkan makan sembari memikirkan cara bagaimana aku akan memulai menerangkan peristiwa waktu itu. Sampai pada sendokan yang terakhir, aku belum menemukan cara yang tepat. Yang jelas aku tidak mungkin bisa menyinggung kehamilan Ratna yang memang belum kuketahui waktu itu. Aku juga tidak bisa membawa cerita dua preman yang mengejar Fizah dan Ratna. Hal-hal yang seharusnya aku jelaskan, tapi tidak bisa aku katakan. Padahal, satu kejujuranku nanti akan memaksaku menceritakan kronologis yang sebenarnya. Jika semua itu dilarang diungkapkan, ujung-ujungnya aku akan membohongi. Aku menyudahi diri.
Aku meletakkan piring kotorku di wastafel. Tidak langsung kubersihkan. Aku masih malas karena piring kotornya telanjut menumpuk. Aku mencari handuk yang kemarin sudah kucuci. Masih setengah kering. Aku mengambil yang kering di kamar. Lalu, mandi sekitar lima menit saja. Seperti biasanya aku akan memakai body spray. Aku keluar dari kamar mandi sembari mengusap-usap rambut dengan handuk. Habis keramas. Lanjut salat zuhur, tahlil, dan tadarus lima halaman pertama juz dua puluh. Aku memanjangkan leher demi melihat jam kecil yang kuletakkan di meja kerja. Masih setengah dua siang. Aku bangkit.
Tiba di rumah Bu Mini. Ada Si Sulung dan Si Bungsu di depan rumah. Si Sulung langsung berdiri menawarkan senyuman. Seperti biasanya dia akan bertanya apakah aku ke rumahnya untuk mencarinya.
“Aku nyari Ibumu. Di mana?”
“Kak Nizam kapan ke sini nyari aku?“
"Kamu kutawari kuliah nggak mau. Kalau kamu mau, kamu akan lebih sering bertemu denganku.”
“Bisa diantar jemput sekalian dong, Kak? Iya to?” Dia cengengesan.
“Ya...itu asal kamu mau kuliah.”
Dia mengerenyotkan bibir.
“Sekali dua kali oke Kak Nizam bisa jemput. Seterusnya gimana? Ujung-ujungnya aku yo berangkat sendiri.”
“Iya harus begitu. Di mana Ibumu?”
“Barusan keluar. Tunggu saja, Kak. Eh, itu gimana Si Fizah. Emang serius mondok, yo, Kak?”
“Serius. Kamu nggak percaya?”
“Duduk dulu, Kak!”
Ada tempat duduk panjang yang langsung aku tempat. Si Sulung diam di tempatnya. Menyamankan diri dalam posisi merebah sembari mengangkat kaki.
“Kakimu itu lo heeeeh. Turunkan!” Si Sulung memukul kaki adiknya kasar.
“Kampret. Ngganggu aja.” Dia bersungut-sungut.
Dia memilih pergi .
“Bukannya ndak percaya, Kak. Itu lo Ibuk sampek bela-belain ke Magetan demi sambang Fizah.”
“Kemarin nggak ikut kenapa?”
“Males. Ogah juga. Mending di rumah. Apaan itu pondok.”
“Sulung, Sulung. Belum ada perubahan kamu.”
“Loh aku sudah berubah, Kak. Orang aku sekarang nggak pernah ngutang lagi.”
“Baguslah.”
Wajahnya masam. “Tapi, sekarang ya aku nggak pernah megang duit lagi. Kecuali kalau dagangan laris, nanti Ibuk ngasih aku uang.”
“Makanya kuliah aja. Kamu cocoknya kuliah. Jadi muda-mudi keren.”
“Iya, sih. Ketemu sama kamu juga, Kak. Hehe. Eh, Kak, kamu udah punya pacar belom?”
“Sudah,” jawabku mantap.
“Siapa? Ih, kok punya? Jangan-jangan perempuan yang waktu itu ke sini, ya. Siapa itu namanya lupa aku. Iya bener dia, Kak?” Matanya seketika membelalak. Yang dia maksud adalah Mbak Rubia. Dan, dia tidak tahu kalau Mbak Rubia sudah tiada.