*POV Ranaa Hafizah
Setelah aku keluar dari ndalem, mengikuti kegiatan rutin seperti santri-santri lainnya, aku semakin sulit untuk berkomunikasi dengan Yazeed. Meminta pada Gus Fakhar tak mungkin lagi sekali pun misalnya beliau menawarkan. Karena perpindahan kamar ini tujuannya supaya aku dan beliau tidak terlalu dekat lagi. Ya aku pun memang masih diminta Bu Nyai Ridhaa ke ndalem, tapi hanya sekali dua kali dan tidak setiap hari. Terakhir ke ndalem kemarin lusa karena bu nyai memanggilku. Dan, juga belum bertemu dengan Gus Fakhar sebab jadwal beliau ngaji kitab bersama santri putri kosong, lalu diganti dengan kegiatan tilawah bersama muraqibah. Beliau juga hampir tidak pernah ke pondok putri jika tidak ada keperluan ngaji kitab. Bersamaan dengan kosongnya jadwal itu, Ning Ulya ternyata juga tidak ada. Santri-santri mengira mereka ada pertemuan keluarga.
Sudah seminggu ini aku merasa jauh dari keluarga ndalem. Perbedaannya mungkin tidak terlalu banyak karena bertemu dengan Bu Nyai Ridhaa pun masih setiap hari saat setoran. Ya aku sekarang pun sama seperti santri lainnya. Mulai setoran murajaah sejak malam pertama bermalam di kamar pondok. Mau tidak mau, tanpa menunggu kesiapanku, aku juga mulai tertuntut memfokuskan diri dengan Alquran. Tapi, mana bisa aku mudah melakukannya saat aku masih punya tanggungan menjawab lamaran Yazeed. Aku masih sering gagal murajaah karena khawatir Yazeed menunggu.
Setelah membaca surat dari ibuku, aku tidak akan tergesa-gesa. Aku punya pengalaman yang begitu besar. Pengalaman itu akan menjadi pelajaran seumur hidupku. Rumah tangga atau hubungan antara lawan jenis bukan hanya persoalan bagaimana keduanya bisa saling memuaskan animo dalam berhubungan. Semua yang terjadi di kolong sampah itu mencuri pikirku hampir setiap malam. Ada pegawai yang masih mempunyai pasangan, tapi harus terjerembab ke sana. Sementara, pria yang kehausan meminta air itu tak jarang juga mereka yang masih berstatus berpasangan. Miris. Di tengah kekhawatiranku ini, aku tak boleh berambisi untuk mengejar cinta sedangkan aku masih memiliki cita-cita.
Ibuku memang benar. Pengalaman Yazeed dalam berubah tangga jauh lebih besar. Bahkan, aku tak memiliki pengalaman itu. Yang aku tahu justru peristiwa sakral dalam perayaan cintanya. Yang harus dilakukan tanpa tangis dan hati yang miris, serta tanpa pemaksaan kehendak. Tapi, semuanya harus didasari dengan cinta dan saling menghormati. Semua itu, Yazeed pun tahu persis. Tapi, sekali apa aku benar-benar siap mendampinginya dengan semua konsekuensi yang tidak kutahu?
Melihat teman santri yang masih banyak seusiaku, mereka sibuk memegang Alquran, mereka yang tak langsung memejamkan mata saat menjelang lelapnya karena fokus mengingat mimpi, aku sadar usiaku terlalu dini untuk memikirkan pernikahan. Ibuku saja dulu menikah saat usianya sudah 26 tahun. Dan, sebetulnya saat ini aku hanya perlu mengatakan apakah Yazeed bisa menungguku selama itu? Barang empat atau lima tahun? Tapi, sayangnya aku belum berkesempatan untuk berkomunikasi dengannya. Di sini, ruang gerakku semakin terbatas.
Mbak Furiyama, gadis mirip artis Yukikato, tapi dia bukan blesteran, dia yang sedang melenggang di depanku. Lantas mundur dua langkah memastikan ada apa dengan wajahku.
"Wajahmu kenapa itu?"
"Nggak kenapa-kenapa."
"Yakin?"
"Iya yakin."
Mbak Furi mengangguk.
"Mbak, sejauh ini apa ada yang membicarakan aku di pondok ini?"
"Tapi, kamu jangan kaget, ya."
"Kenapa memangnya?"
"Cuman ini enggak semuanya yang tahu. Kata santri-santri, kamu deket sama Gus Fakhar. Sedekat apa, ya? Sebatas abdi ndalem, kan?"
Aku gugup. Kecemasanku mendesirkan degup jantungku pelan-pelan.
"Kamu nggak bohong itu?"