*POV Ranaa Hafizah
"Mbak, sejak kamu ndak di ndalem, aku capek banget rasanya. Di ndalem, aku jarang banget setoran. Giliran setoran, badan ini rasanya sudah pegel semua. Semua aku kerjakan sendiri. Bedanya, kamar Bu Nyai aku sekarang tidak perlu membersihkan. Enteng kalau ada temennya. Andai saja ndak ada drama begini. Kamu masih di ndalem kerja bakti sama aku. Mbak Ulya ke ndalem juga jarang-jarang atau pasti lagi masak aja."
"Maaf, Mbak Fi. Ini di luar perkiraanku."
"Okelah. Aku kembali, ya. Nanti dicari Bu Nyai."
"Gus Fakhar sekarang lagi apa?"
"Aku dengar tadi sih deresan. Sudah, ya. Assalamu'alaikum?"
Aku menjawab salam itu lirih. Kubuka mangkuknya.
"Isinya lontong sayur dan sate kelinci."
Aromanya merontakan perutku. Menunya menggugah selera. Kebetulan aku belum makan sejak tadi.
Aku menoleh ke belakang. Mbak Furi ternyata masih di posisi sama. Dia murajaah hafalannya.
"Wih, dapat kiriman dari ndalem ini."
Aku mengembangkan senyum.
"Bu Nyai masih perhatian banget sama kamu. Beruntung kamu, Mbak. Disayang Bu Nyai itu kenikmatan. Hmmm...pengen juga. Hehehe."
"Ndak tahunya aku pindah ke sini karena berbuat salah," batinku.
"Mau makan bareng aku ndak?"
"Boleh boleh. Ayok!"
Aku membawa makananku ke kamar. Mbak Furi yang dari kamar sebelah kupaksa ikut masuk. Tidak masalah karena dia yang lebih dulu tahu aku dapat makanan dari ndalem.
Sejurus kemudian, aku mendengar derap langkah kaki berdebum cepat ke depan kamar. Aku menoleh.
"Mbak?"
Mbak Ufi melambaiku.
"Buka saja dulu tidak apa-apa," kataku pada teman-temanku.
Aku bangkit. Kupakai sandalku.