*POV Ranaa Hafizah
Napas yang tersangkut di tenggorokan akhirnya bisa lolos seluruhnya. Pelipisku tidak jadi basah. Perlahan-lahan telapak tanganku menghangat. Mereka tidak membujuk rayu aku supaya menjawab semua pertanyaan mereka. Walaupun mereka kelihatan mengalah, tapi mungkin saja mereka bertambah penasaran sebab aku bungkam dengan mengatakan aku tidak bisa bercerita.
Mbak Furi tetap mengunyah sepotong sate kelinci dariku tadi. Matanya tetap menatapku penuh arti. Antara penasaran dan curiga. Berkali-kali kelopaknya mengedip. Sesekali tangannya menyela untuk menjilati ujung jarinya yang terkena saus kacang.
Antara khawatir dan aneh. Pandangan Mbak Furi membuntuti wajahku setiap aku mengalihkan tatapan.
"Mbak Furi kenapa?" tanya Mbak Ummu.
Dia tidak menjawab. Dia memegang pundak kiriku pelan. Aku kembali menatapnya.
"Apa cuman aku aja yang merasa Mbak Iza mirip dengan Bu Nyai?"
Pandangan Mbak Ummu, Mbak Kalila, dan mbak-mbak lainnya kontan membentur wajahku. Serempak mengamati serius.
"Lumayan," kata Mbak Ummu.
"Bagian apanya coba?" Bola mata Mbak Furi mengerling ke arah kirinya. Menatap Mbak Ummu. Sedangkan, aku mengamati wajah mereka satu per satu.
"Tidak mirip kok," kataku.
Mbak Kalila mengerucutkan bibirnya. Mengernyit.
"Satu yang mirip itu...hmm...menurutku bentuk wajah. Itu yang dominan."
"Aku justru lebih ke cara memandang. Pokok sekitar area mata itu mirip," ucap Mbak Furi.
"Oh iya katanya Bu Nyai itu punya anak perempuan namanya Tsaniya." Gantian Mbak Galuh yang berbicara.
"Iya bener," sahutku.
"Kejadiannya tragis. Hilang dicuri ninja. Tapi, kok ndak ketemu sampai sekarang, ya." Mbak Ummu menuangkan nasi ke piringnya. Mengambil dua tusuk sate.
"Tapi, Bu Nyai yakin sekali adik Gus Fakhar masih hidup." Aku menjelaskan sedikit. Tidak berani banyak.
"Feeling Ibu biasanya kuat. Semoga saja, ya," kata Mbak Furi setelah menggigit sate.
Aku mematut diri di depan cermin. Tapi, apa yang Mbak Ufi katakan aku mirip dengan Gus Fakhar, dan katanya aku juga mirip dengan Bu Nyai Ridhaa itu sama sekali tidak benar. Aku justru lebih menyamakan diriku dengan wajah ibuku walau rupa kulit ibuku jauh lebih gelap dan kian menua. Siapa lagi orang tuaku jika bukan mereka? Kalaupun banyak orang yang beropini soal kemiripanku, kemungkinan seseorang memiliki kesamaan wajah dengan yang lainnya masih sangat besar, dua tiga empat orang yang sama bisa ditemukan di dunia ini.
Senyumanku mengembang sejenak. Boleh jadi suatu hari nanti aku bisa meniru Bu Nyai Ridhaa, baik sikap ataupun kemampuan hafalannya. Tapi, beberapa detik kemudian berangsur datar. Terngiang wajah kecewa Bu Nyai Ridhaa atas kesalahanku menerima gamis itu. Kulirik dari cermin, kawan-kawanku sudah terlelap. Mereka memanfaatkan istirahat jam siang untuk tidur.
Aku harus berani. Kumantapkan dalam hati. Aku keluar kamar. Aku berjalan sendirian menuju ndalem kesepuhan. Jam segini biasanya Kiai Bahar masih di ruang pengobatan.