*POV Ratna
Sepertinya menenangkan, andaikata aku bisa di atas sana, tempat Yazeed sedang berdiri sekarang. Tapi, tangga itu hanya boleh dinaiki oleh keluarga Yazeed. Yazeed hanya pernah memberitahuku tanpa mengajakku berdiri di depan rumahnya, yang katanya memang mengasyikkan. Begitu dia menuruni anak tangga, aku menatap sebagian wajahnya tertimbun cahaya. Malam ini dia memakai celana levis pendek selutut, kaus hitam, dan jaket army. Meski saat aku sadar tengah memperhatikannya, lalu kembali menyamakan wajahnya dengan Pak Nizam, tapi Yazeed tetaplah Yazeed. Dia berbeda dengan semua yang ada dalam dirinya.
Yazeed mempedulikan orang-orang sepertiku ketika dunia nyaris memandangku fana. Tapi, aku wujud baginya. Saat aku betul-betul berada di titik kesadaran, jiwaku tak limbung oleh perbendaharaan dunia, saat yang kurasakan hanyalah cinta, aku bisa merasakan takrif debar yang kuhasilkan saat aku bersamanya. Ini bukan perasaan biasa. Sayangnya, saat percikan api itu menyulut amarah dalam diriku, aku tidak bisa merasakan apa-apa selain kebencian. Setengah diriku mungkin masih waras, tapi separuhnya lagi sudah tak bisa disebut begitu. Aku mengatakan semua ini saat aku tiba-tiba menyadari dunia ini masih peduli padaku.
Namun, malam ini aku mengenali perasaan baru. Yang baru kukenal saat sudah tahunan lamanya aku hanya mengenal rasa sakit dan amarah. Renyut dalam rongga dada yang belum bisa kutakrifkan. Aku hanya tiba-tiba ingin melenggang pergi ketika Aynur dan Yazeed sibuk berbincang-bincang berdua, padahal aku ada di antara mereka. Lalu, Yazeed hanya membiarkanku begitu saja. Kelesah apa ini? Aku bingung ingin menyebutnya apa.
Aku termangu di depan kamar. Buncitnya perutku memaksaku harus berselonjor kaki. Dengan sedikit menekuk kaki, aku miring ke kiri sembari memeluk tubuhku sendiri. Angin menampar wajahku pelan meski membayu kencang. Tidak ada yang pasti. Segalanya terasa membodohkan. Apa mungkin aku yang memang setengah tidak waras ini memang bodoh mengartikan perasaan sendiri. Lalu, pandangan ini mendadak kosong. Aku tenggelam dalam perdetakan waktu yang terasa semakin hening. Tersadarlah aku kemudian setelah di sampingku ada yang menyentuh bahu kananku. Aku mengerjap. Pandanganku yang pudar memaksaku mengerjap lagi. Yazeed menepuk bahu kirinya.
"Aku izinkan bahuku untuk kaupinjam sementara."
Aku pun hanya diam mengikuti gerak angin yang mendorong keinginanku. Tak ada debar, gemuruh, atau pergolakan apa pun di dadaku. Tapi, tenteram dan bahagia seketika menyebar ke seluruh saraf. Aku meloloskan napas begitu lancar. Aku memejamkan mata dengan sangat mudah. Tatkala aku membuka mata, aku masih berada dalam posisi semula. Memeluk diriku sendiri. Ganar itu kembali. Meskipun fana, mimpi beberapa detik itu tertinggal dalam perasaanku. Malam ini aku tidak mengerti.
Lonceng kegiatan zikir malam melenguh lantang. Aku dan yang lainnya wajib mengikuti kegiatan itu sampai satu jam ke depannya. Ayah Yazeed yang memimpin. Aku memanggilnya Pak Kiai, sama seperti yang lainnya. Aku bangkit. Pintu bilik yang lainnya pun terbuka bergantian. Penghuninya keluar memakai mukena. Aku sudah berpakaian panjang sehingga tidak perlu menggantinya.
Aku berjalan belakangan. Kakiku melangkah tak begitu tegas. Kedamaian yang aku rasakan saat pertama kalinya menginjakkan kaki di sini, kini damai itu berubah arah. Tapi, aku tak punya pilihan lain selain hanya terus di sini sampai aku mendengar kabar Pak Su dan Hakim minimal bisa dipenjarakan seumur hidup. Aku juga tidak memiliki tempat untuk kembali. Kubuang napasku. Lalu, aku menghirupnya dalam-dalam. Aku mendongak. Kudapati lambaian tangan Yazeed. Dia menuruni anak tangga sembari menyuruhku melangkah lebih cepat. Kutoleh kanan kiri. Hanya aku yang tertinggal.
Aula ini telah dibelah menjadi dua. Pembatas laki-laki dan perempuan membentang hingga setengah aula. Aku menduduki tempat paling belakang. Bersandar di tembok seraya menggerakkan pentolan tasbih yang terbuat dari kayu. Kuikuti suara Pak Kiai yang telah membelah sepi sejak setengah jam yang lalu. Siapa pun tidak diperkenankan mengantuk meskipun tidak ada sanksi dan penjaga. Tapi, aku leluasa menikmati pejaman mataku. Kurasakan ujung jariku sudah tidak bergerak memutarkan tasbih dengan cepat.
"Akhirnya bayimu bisa lahir dengan selamat, ya."
"Iya. Makasih sudah hadir."
"Ini sudah tugasku sebagai seorang suami."
"Suami?" Aku mengernyitkan dahi.
"Iya. Kamu kaget?"
"Sejak kapan kamu jadi suamiku hmm?"
"Aku mencari keluargamu. Aku meminta restu. Setelah aku mendapatkannya, aku menikahimu tanpa sepengetahuanmu. Jadi, kita sekarang sudah sah. Kamu nggak usah khawatir. Bayi ini, aku yang akan memberinya nama. Aku juga yang telah mengazani. Tugasku sebagai Bapak barunya, akan kulakukan selayaknya."
Kedengarannya membahagiakan, tapi juga membingungkan. Tak kunyana aku justru berjodoh dengannya.
"Apa buktinya jika kamu sudah menikahiku?" Aku tidak bisa semudah itu memberikan kepercayaanku pada pria.
Sejurus bibirnya menubruk keningku hingga terdengar bunyi cup.