Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #125

Mencari Pembenaran

*POV Ibban Nizami


Ibuk mencandaiku. Tangannya terus memijat-mijat pahaku. Lalu, meminta tanganku supaya kuluruskan. Ibuk menekan-nekannya. Merambat sampai ke siku. Aku meringis sakit.

"Karena ndak pernah dipijati ya begini. Sakit semua. Besok kalau sudah punya istri, yang baik yo, Le. Sing gemati tenan (yang sayang). Ayem kalau istrimu nanti bisa mijitin kamu. Istrimu yang pijit-pijit, kamu yang salawatan."

"Ya Allah, Buk njenengan kok romantis."

"Loh lha yo harus, Zam. Ayahmu dulu seperti itu. Kata Ayahmu, Ayahmu itu paling seneng kalau Ibuk pijit. Cuman Ayahmu ndak punya suara bagus. Jadi yang salawatan Ibuk."

"Buk, coba njenengan salawatan. Agih, Buk! Dulu Ibuk katanya mantan penyanyi balasik."

Tawa ibuk seketika pecah. Memukul keras-keras pahaku. Aku meringis lirih. Menghalau tangan ibuk yang hendak memukul lagi.

Aku merebah. Telentang. Berbantalkan paha ibuk. Kupejamkan mataku. Aku siap mendengarkan ibuk melantunkan nyanyian, salawat yang sudah tidak pernah kudengar dalam suasana seperti ini.

Pelan kudengar suara ibuk menyenandungkan nasamatu hawak. Meski sudah terdengar sedikit renta, tapi suara bening ibuk masih sangat khas. Walaupun, sekarang hanya terlatih dengan kegiatan rutinan diba' di rumah tetangga-tetangga.

"Pas rutinan barzanji, Ibuk tetap jadi rawinya?"

"Iya, Zam. Ibuk sebetulnya pengen yang lain saja. Yang muda-muda suaranya lebih cling dan fashih."

"Kadung cocok. Selain Ibuk sudah menjadi kepercayaan, ibuk jadi senior, suara Ibuk itu juga khas. Tidak berubah."

"Alah alah, Zam. Kok ngrayu Ibuk, luwe opo (lapar apa) gimana kamu ini hemm?"

Tawaku menyembur ke udara.

"Sudah malam, Buk. Njenengan istirahat saja sekarang. Ingat Ibuk harus jaga kesehatan. Ibuk harus berumur panjang sampai aku menikah nanti, nggeh, Buk."

"Aamiin. Semoga Ibuk bisa mendampingi kamu, Le."

Ibuk membelai kepalaku. Meraba rambutku yang kumal sudah empat hari tidak aku kerasami.

"Buk, rambutku bau, kan? Empat hari nggak keramas."

"Le, kelihatan jomblomu. Masih perjaka kalau tampil mbok yang primpen (rapi)."

"Enggeh nggeh, Buk."

Kegiatanku bersama ibuk saat aku berada di rumah kadang memang seperti ini. Berhubung ibuk hanya memiliki dua anak laki-laki, aku anak ragil yang diperlakukan seperti anak perempuan. Mendengar ibuk terus melantun tanpa putus, aku terbuai. Kelopak mataku terasa berat digerakkan.

Lihat selengkapnya