*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
"Iza sekarang umur tujuh belas, nggeh?" Ummik terus melontarkan pertanyaan.
"Inggeh, Bu Nyai. Tapi, sayangnya Iza putus sekolah. Ngapuntene, Bu Nyai, hafalan Fizah lancar nggeh?"
"Hafalan Iza masih fokus murajaah. Masih melancarkan. Tapi, insyaallah kalau orang tuanya rida, terus mendoakan, diberikan rizki yang halal, insyaallah semuanya lancar."
"Aamiin aamiin. Monggo disambi. Gus, Kiai, ngapuntene hanya seperti ini. Tapi, buahnya masih seger."
Tuan Kabi mengawali. Dia mengupas salak. Lalu, menawarkannya pada istrinya supaya ikut mencicipi.
"Bu Mini, sebelumnya kami sekeluarga meminta maaf. Bukan bermaksud apa-apa..."
"Nggeh, Pak Kiai."
Abah menoleh padaku. Menyuruhku melanjutkan.
"Dulu Bu Mini pernah bekerja di Madura?"
"Pernah, Gus. Tidak ada dua tahun. Setelah itu kami pulang. Iza lahir." Bu Mini tersenyum.
"Lalu, Bu Mini pernahkah mendengar ada kabar seseorang mencari anak perempuan, lebih tepatnya bayi yang memiliki tanda lahir hitam di ketiaknya?"
"Ooo...itu anu, Gus, begini...saya kok mboten pernah dengar. Siapa, Gus, yang mencari?"
"Di media sosial mboten, nggeh?"
"Kami ini hidup kekurangan, Gus. Apalagi saya juga orang kuno. Jadul. Jadi tidak paham apa itu media sosial, Gus," terangnya cukup lancar.
"Keluarga kami yang mencari. Dan, maksud kedatangan kami ke sini ingin meminta izin supaya Iza bisa melakukan tes DNA."
"Ngapunten, Gus, ya sebetulnya saya pernah diberitahu Nduk Fizah. Panjenengan sekeluarga meminta Nduk Fizah. Nduk Fizah sendiri...hmm masih meminta pendapat ke saya. Nggeh bukannya saya keberatan, tapi..." Bu Mini diam sejenak. "Tapi..." Urung dilanjutkan.