*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
"Jika kami telah salah bertamu di sini, kami juga memohon maaf," jawab abah.
"Tidak, Pak Kiai. Tapi, memang ada yang sudah saya sembunyikan bertahun-tahun." Mengalirkan air dari sudut mata Bu Mini.
Tidak ada yang mengajukan pertanyaan. Tapi, yang jelas kami semua sangat penasaran. Pendengaranku antusias menyambut pengakuan Bu Mini. Tinggal menghitung detik. Kejelasan itu akan keluar dari mulut Bu Mini yang masih menggeming.
"Dulu memang saya pernah menemukan bayi. Saat saya dan suami masih di rumah perantauan. Kami tidak tahu siapa yang membuangnya. Saya berpikir, ndak mungkin ada orang tua yang dengan sengaja meninggalkan anaknya. Kecuali anak itu memang sengaja dibuang. Apalagi, saya ingat dulu itu pas jam dua malam. Setelah magribnya hujan deras. Saya berharap ada rejeki yang datang. Lalu, esok harinya ya itu. Ada tangis bayi di depan rumah. Bayi itu perempuan. Memang bener bayi itu punya tanda lahir di ketiak. Tapi, saya tidak tahu pasti apakah bayi itu Tsaniya yang panjenengan maksud atau bukan. Tapi, saya sangat menyayangi Fizah. Bu Nyai, jika benar Fizah itu Tsaniya tolong Bu Nyai jangan pisahkan saya dengan Fizah, Bu Nyai."
"Ya Allah, masyaallah. Subhanallah," kata ummik.
"Nyuwun ridane panjenengan Bu Mini. Supaya semuanya lekas ada kejelasan."
Aku menimpali. "Keluarga saya dan njenengan sama-sama berkorban. Tujuh belas tahun kami menantikan hari ini. Saya nggak nyangka, Bu, andaikata Iza, abdi ndalem kami justru Tsaniya yang sebenarnya. Kami sangat tahu melepaskan anak yang telah dibesarkan itu sangatlah sulit. Tapi, bukannya ini belum pasti? Fizah belum tentu Tsaniya?"
Aku hanya mencoba membujuk dengan cara yang lain walaupun sejauh ini aku pun menyetujui firasat ummik.
"Pripun (bagaimana)?"
"Nggeh, Bu Nyai. Saya nderek (ikut) permintaan panjenengan."
"Rida nggeh?"
"Insyaallah saya rida. Demi kebaikan kita bersama, Bu Nyai. Saya juga Ibu. Saya paham harapan Bu Nyai sekeluarga sangat besar pada kemungkinan ini."
"Alhamdulillah." Ummik menyentuh paha abah. "Bah, alhamdulillah. Paling mboten bibar niki ngertos hasile pripun. Mbok menawi perkiraan kula selama niki memang leres, Bah."
Terjemah: (Bah, alhamdulillah. Setidaknya setelah ini tahu hasilnya bagaimana. Siapa tahu perkiraanku selama ini memang bener, Bah)
Abah mengangguk.
"Monggo diminum dan diicip buahnya."
"Bu Mini, upama nanti hasil tes menyatakan Fizah adalah anak kandung saya, Bu Mini bersedia menjelaskan pada Iza? Menurut saya, nggeh, yang berhak menjelaskan adalah panjenengan selaku yang membesarkan Iza selama ini. Selain itu, Iza juga akan lebih mempercayai panjenengan."
"Panjenengan lebih berhak, Pak Kiai. Monggo bagaimana baiknya saja. Saya nurut saja Pak Kiai."
"Monggo panjenengan yang memutuskan," ucap abah.
"Iza akan kecewa jika mendengar kenyataannya dari orang lain. Lebih baik njenengan, Bu, yang bilang. Tapi, aku rasa ini nggak perlu dipikirkan dulu. Nanti setelah hasil tes keluar, kami akan memberitahu."
Nyonya Nyawa mengeluarkan tas kecil di pangkuannya. "Supaya lebih mudah berkomunikasi, Bu Mini bisa menggunakan media ini. Ini HP." Mengangsurkannya ke depan Bu Mini.
"Tidak perlu, Mbak. Mboten usah (tidak usah)."