*POV Sulaiman Ad-Daffa'
Semalam kami tidur di rumah salah satu kawan Mas Nizam sewaktu nyantri dulu. Kebetulan tempat tinggalnya hanya berkarak lima kilo dari pesantren. Selepas sarapan, kami pamit berangkat. Maksud hati ingin juga mengajak Mas Kabir, tapi dia memohon maaf sebab dia harus bekerja, berangkat pukul delapan pagi. Setiba di Al-Furqan, kami langsung menuju ndalem kiainya. Tapi, saat Mas Nizam bertanya kepada salah seorang santri, santri itu mengatakan Kiai Bahar sedang memenuhi undangan pengajian di Kartoharjo. Hanya ada bu nyai yang masih ada simak Alquran bersama beberapa santri putri, termasuk dengan calon menantunya, di Botok Geplak. Sedangkan, putranya Gus Fakhar juga sedang ada di konveksian.
"Kita balek. Nanti ke sini lagi," ucap Mas Nizam.
Aku mengeluarkan kunci mobil Mas Nizam dari saku kemejaku. Dia memintaku yang nyetir. Dia beralasan lelah.
Masuk mobil. Perlahan setir kubelokkan ke kanan. Kaca kubiarkan tetap terbuka. Sebentar menganggukkan kepala, menyapa santri yang lewat.
"Kamu ingat dua perempuan yang pernah kita temui waktu aku mengajakmu membeli baju untuk hadiah ulang tahun Mbak Rubia?"
"Ya. Aku ingat, Mas."
"Mereka Fizah dan Ratna. Aku ingin menemui Ratna di padepokan Yazeed."
"Fizah juga di sana?"
"Ada di sini."
"Jadi sebenarnya kamu ingin menemui Fizah di sini, Mas?"
"Enggak. Siapa tahu jika aku mengajakmu, ada santri yang kepencut sama kamu." Dia membubuhkan tawa di akhir kalimat.
"Etdaaaah." Aku pun menertawakan niatnya yang menurutku lucu. Tapi, ada benarnya juga. Selama ini aku belum bisa melupakan Mbak Rubia.
"Semua santri di sini penghafal Alquran. Kamu tinggal pilih. Dengan syarat sudah siap berumah tangga. Insyaallah jadi."
"Kamu sendiri gimana?"
"Tunggu saja ke depannya."
Mobil berpacu dengan kecepatan angin yang bertiup dari arah yang berlawanan. Mas Nizam turun bertanya kepada orang di pinggir jalan. Padepokan yang dimaksud bernama Darul Amin. Katanya hanya setengah jam agar bisa sampai di sana. Selanjutnya, kami mengandalkan maps. Sekitar satu setengah kilo, kami belok ke jalan yang sudah tidak lagi beraspal. Untuk memastikan kami tidak melewati jalur yang salah, Mas Nizam turun bertanya lagi. Menghentikan jalan seorang pria sepuh yang sedang membawa segebok rumput. Pria sepuh itu tampak manggut-manggut. Dua kali menunjuk arah ke utara. Sepertinya kami memang masih harus jalan terus.
Mas Nizam kembali masuk. "Nggak jauh. Tinggal terus. Yok!" Menutup pintu.
Sepuluh menit kemudian.
Sepintas kulihat padepokan ini tidak serupa padepokan. Ada empat penjaga di luar gerbang kayu hang menjulang tinggi kira-kira tiga meter. Penjaga itu mirip seperti body guard dengan pakaian serba hitam. Juga udeng di kepala.
"Yakin ini tempatnya?"