*POV Ibban Nizami
Sebenarnya aku ingin menyinggung yang lain. Setelah melihat kecanggungannya dan sedikit kalimat yang keluar dari mulutnya, kusimpan lagi pertanyaanku. Meski Ratna mengatakan dirinya baik-baik saja, raut mukanya bersendu. Jika sedang tidak diajak bicara, pandangannya kosong. Tapi, sekilas seperti memikirkan sesuatu. Aku tidak memperhatikan dirinya begitu jeli. Aku khawatir dia menangkap maksudku, lalu dia justru bertambah enggan dan tak mau menjawab pertanyaan yang akan aku ajukan.
"Tapi, ada yang ingin aku tanyakan."
Dia kembali menatapku.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Bukannya Pak Nizam sudah tahu tadi?"
"Memang ada beberapa hal, tapi yang terpenting itu. Apa yang sebetulnya telah terjadi pada kalian? Siapa dua lelaki itu?"
"Apa Fizah udah cerita?"
"Ratna, dia tidak mungkin cerita. Dia hanya memberitahuku apa yang terjadi pada kalian, sebetulnya itu bukan kehendak kalian berdua. Benar begitu?"
Dia mengangguk.
"Apa kamu nggak ingin cerita? Sedikit lebih jelas saja agar aku tahu."
"Tapi, Fizah marah dengan Pak Nizam. Aku nggak berani cerita jika Fizah saja enggan, Pak."
"Siapa yang tahu masalah ini? Hanya kamu, Yazeed, dan Fizah bukan?"
Tatapannya melurus padaku. Dia urung menjawab.
"Fizah dan Yazeed pasti enggan. Harapanku adalah kamu, Ratna. Kamu pasti tahu, kan, kronologis kejadiannya? Aku yakin kamu tahu persis."
Aku hanya ingin memastikan bahwa dugaanku benar. Mungkin dia dipaksa oleh seseorang.
"Aku ke sana sebentar." Pak Iman menyisih. Dia mengerti Ratna enggan berbicara karena ada dirinya.