*POV Ranaa Hafizah
Aku tetap di ndalem. Aku perlu menenangkan diri. Bertemu dengan orang banyak saat hatiku kalut seperti ini, aku tidak siap. Aku masuk ke kamar Mbak Ufi saat dia sedang di dapur menggoreng sesuatu.
Aku mematut diri di depan cermin selama beberapa menit. Tapi, aku tidak menemukan keyakinan di sana. Aku yang tidak menyadari, aku yang tidak siap menerima kenyataan, atau mereka yang terlalu mengharapkan kembalinya Tsaniya sehingga mereka sampai harus memperjelas semuanya kepada ibuku? Ketidakyakinanku berdampingan dengan rasa khawatir mereka tidak akan siap menerima masa laluku. Apa jadinya nanti? Apa jadinya harkat martabat keluarga ini jika seandainya aku betul perempuan asli trah pesantren, yang tumbuh besar di tangan wanita desa? Pesantren ini dibangun oleh kekuasaan kiai yang bijaksana, wira'i, dan alim. Apakah saat semuanya terkuat nanti dan aku terbukti putri kedua bu nyai, apakah aku diterima? Jika keluargaku menerima, apakah santri-santri akan menganggapku bagian dari keluarga ini? Gusti, aku khawatir mereka terluka. Aku tidak sanggup menjelaskan semuanya. Saat ini aku hanya bisa berdoa, semoga tanda lahir ini hanyalah tanda lahir biasa yang tidak ada kaitannya dengan keluarga ini.
Kubanting pantatku ke kasur. Aku tak bisa tenang walaupun aku sudah menghalaunya dengan doa-doa. Cerita yang dibawa Tuan Kabi dan Nyonya Syawa seakan-akan menjadi bukti penguat. Kurebahkan badanku. Kuseberangkan pandanganku ke langit-langit kamar. Terdengar kang santri mengaji menggunakan lagu jiharkah. Sendu sekali. Irama melankolis itu mendesak kegalauanku. Wajah ibuku menindihnya sangat kuat. Betapa ibuku sangat menyayangiku. Apakah benar ibuku yang tak pernah menyinggung soal ini, itu karena ibuku tidak ingin lepas dariku? Irama itu terus didengungkan sampai pada kalimat la tahzan innallaha ma'ana. Tangisku pecah. Membuncah ke pipi. Tak ada isak. Aku menahannya, tapi rasa hangat itu merambat ke seluruh wajahku. Mungkin wajahku sudah memerah.
Kugali sekali lagi. Apa yang sebetulnya aku takutkan? Berpisah dengan ibuk? Mengkhawatirkan masa laluku? Cemas keluarga ini terluka? Aku bergeming beberapa detik. Sepertinya aku lebih mengkhawatirkan diriku sendiri. Aku bukan gadis pemberani. Hatiku berkelesah. Aku bersikukuh ingin mempertahankan harga diriku sendiri saat aku sudah terjatuh pada masa lalu yang menjijikkan. Tak tenang. Aku tak tenteram sedikit pun. Rasa emanku tidak ingin terlihat rendah di mata orang lain mengalahkan keresahanku akan berpisah dengan ibuk. Aku mendekap diriku sendiri. Tercium bau busuk yang muncul entah dari mana. Kotor sekali diriku ini. Kuremas-remas sprei. Kuhantamkan kepalan tanganku. Dadaku remuk. Ulu hatiku nyeri. Kepalaku pening.
"Mbak, ayok makan yok!"
Aku membalikkan posisiku badanku cepat-cepat. Kuusap-usap pelan dengan kerudungku.
Dengan riangnya, Mbak Ufi kembali menawarkanku makan. Dia ingin aku menemaninya.
"Ini aku dah bawa nampannya sekalian. Porsinya sengaja aku banyakin. Ayok makan!" Nampan itu bergesekan dengan lantai. Aku tetap diam berpura-pura tidur. Lalu, dia mendekatiku. Menyentuh lengan kananku.
"Mbak, tidur to? Jangan tidur looo." Dia mendengus.
Aku merasakan embusan napas Mbak Ufi begitu dekat dengan pipiku.
"Ih, ini mah pura-pura tidur namanya. Ayok bangun Mbak! Emoh aku kalau pura-pura gini. Ada apa, sih?" Dia berdecak.
Aku tidak mempedulikannya.