Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #133

Janji Sahabat

*POV Ufi Yasmina Madah

Heran. Aku memang tidak sedang di posisi Mbak Iza. Tapi, seandainya aku menjadi dia, aku senang karena akan bertemu dengan ibu kandungku. Tapi, entah apa yang sebenarnya Mbak Iza khawatirkan. Kuperhatikan dia sangat tidak tenang setelah bu nyai, kiai, Gus Fakhar, dan dua orang kaya itu ke Tulungagung.

"Bu Nyai, kan, udah rindu sama Tsaniya. Beliau pasti akan sangat menyayangi apa pun yang akan terjadi. Ini juga belum pasti. Ditunggu aja hasilnya. Apa Ibukmu mengizinkanmu tes apa nggak. Kalau diizinkan ya dijalani aja. Toh, ini belum pasti."

Aku menatapnya lebih dalam.

"Mbak, walaupun aku juga berharap kamu memang Ning Tsaniya. Biar keluarga ini makin lengkap. Makin rame. Gus Fakhar itu kalau sama cewek gampang gati (sayang) sebetulnya. Apa yang kamu khawatirkan lagi?"

Harus dengan kalimat apa lagi aku membujuknya supaya tenang. Aku tidak tahu manakah kalimatku yang membuatnya semakin enggan.

"Napa, sih? Aku tahu kamu habis nangis."

Dia membalas tatapanku tanpa berkedip. Mulutnya seperti hendak mengeluarkan kalimat, tapi tidak kunjung kudengar juga.

"Oke kamu makan aja dulu."

Kuteruskan makanku sembari berpikir. Tapi, lebih baik memberinya luang lebih dulu. Lagipula Mbak Iza juga bukan tipikal orang yang egois. Dia mudah menerima nasihat orang lain. Sampai aku selesai makan, sampai aku bersendawa dua kali, dia urung memakan sepuluk pun.

"Aku habiskan, ya."

Dia mengangguk tanpa menatapku. Masih sisa sekitar lima pulukan. Aku bersendawa lagi. Sekaligus kentut yang keluar bersamaan. Kuloloskan napas lega. Aku bangkit ke dapur suku sekalian mencuci tangan.

Saat aku kembali ke kamar, dia tengah membuka punggungnya. Dia menyingkapnya lebar sampai aku terkejut melihat beberapa luka yang ada di sana. Dia membelakangi cermin. Sedikit menoleh ke cermin itu untuk menatap lukanya sendiri.

"Lukamu banyak banget, Mbak?" Aku segera duduk di sampingnya.

"Sejarah luka ini mengerikan." Dia langsung menutup bajunya. Mengancingkan kancing dua teratas.

"Aku bukan perempuan baik-baik."

Kenapa tatapannya berubah? Dia enggan meluruskan pandangannya ke arahku.

"Bukan baik-baik gimana maksudnya? Nggak mungkin ah. Ini efek kelaparan ini."

"Menurutmu apakah lukaku ini karena aku pernah jatuh?"

Aku menggeleng. Mana mungkin luka itu didapatkan dari seseorang yang sengaja melukainya? Melihat rasa sayangnya pada ibunya, rasanya tidak mungkin kalau luka itu karena ulah ibunya. Atau, mungkin saja saudaranya? Keluarganya yang lain?

Lihat selengkapnya