*POV orang ketiga
Dia adalah sesepuh desa. Orang yang paling dihormati. Apa pun yang dikatakan, tidak banyak orang yang berani melawan. Takut tertimpa sesuatu yang buruk terjadi. Meski dia bukan orang yang penuh dengan kelembutan, justru sebaliknya, warga desa tak pernah melupakan kedudukannya. Dalam berbagai acara dan hajat, warga desa datang sungkem meminta doa restu. Juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur desa. Satu-satunya keturunan pembabat desa yang masih hidup. Dia dipanggil dengan sebutan Ki Dalang.
Kabarnya dia juga sakti. Sudah banyak cerita yang tersebar. Beberapa di antaranya diakui kebenarannya dan sebagiannya lagi masih konon katanya. Tapi, yang jelas dia adalah orang yang paling berpengaruh di desa itu. Tapi, sayangnya dia tidak bisa mewariskan keilmuannya kepada anak perempuan satu-satunya karena suatu hal. Yang mengharuskannya mencari pengganti yaitu kepada cucu yang kelak akan dilahirkan dari rahim anak semata wayangnya. Lantas dia hanya meminta putrinya untuk mewarisi segala tetek bengek budaya Banyuwangi dan mewarisi satu pusaka berbentuk patrem.
Ki Dalang jugalah yang memberikan larangan kepada seluruh warga desa supaya tidak sering melewati utara desa. Lebih-lebih kepada seluruh perempuan yang tinggal di sana, pantang bagi mereka untuk melanggar peraturan itu. Bertahun-tahun pantangan itu tetap dipatuhi. Warga desa seperti ketakutan sendiri saat diceritakan apa bahayanya jika sampai melanggar. Tersiar dari mulut ke mulut sanksi yang berbeda. Lebih tepatnya hukum alam itu tidak ada yang sampai menimpa warga karena saking patuhnya mereka pada Ki Dalang. Rasa hormat yang begitu besar itulah yang membawa keyakinan lain, bahwa akan ada hal besar semacam musibah jika ada salah seorang saja yang berani melanggar.
Tapi, kemudian datanglah seorang pria ke kediamannya. Pria itu datang dengan membawa tujuan ingin meminta tolong. Pria itu sebelumnya sudah mencari tahu siapa Ki Dalang yang sesungguhnya. Dan kedudukannya sebagai apa. Waktu itu hampir senja. Ya ketika langit agak semburat oranye di beberapa sisi.
"Ki, saya minta tolong. Ini serius, Ki."
"Apa? Apa yang bisa kubantu."
Pria itu mengatakan telah mendengar beberapa larangan yang ada di desa itu. Termasuk larangan yang menurutnya hanya mitos belaka. Tapi, pria itu tidak mengatakan yang sejujurnya. Dia hanya berterus terang soal apa yang diinginkannya. Apa yang membuatnya sampai memberanikan diri menghadap.
"Ki, saya ingin membuat rumah ki Utara desa."
Ki Dalang membelalakkan mata. Seketika matanya memarahi. Yang dikatakannya kemudian pun membuat pria ifu menelan ludah. "Apa kau mau mati? Hati-hati dengan ucapanmu."
"Mati, Ki? Kenapa begitu?" Pria itu dengan polosnya menanyakan rasa penasaran.
Tentu Ki Dalang tidak akan menjelaskan. Baginya, pertanyaan semacam itu tidaklah penting. Yang dia harapakan hanyalah tidak ada orang lain yang bertindak di luar batas kewajaran aturan yang telah dia buat. Apalagi, pria itu hanyalah orang asing yang kelihatannya ingin mencampuri urusannya dan ingin memanfaatkan sesuatu. Dia menangkap gelagat tidak baik dari sikap pria itu.
"Ki, tolong bantu saya, Ki. Izinkan saya membuat rumah malam di sana."
Ki Dalang terdiam.
"Ki, rumah itu akan menghasilkan banyak uang. Aku berjanji akan memberikan sebagiannya untuk kemakmuran desa ini. Aku janji, Ki." Pria itu berupaya membujuk.
Ki Dalang ingin sekali mengatakan pria itu sudah bertindak kurang ajar. Bisa-bisanya pria itu bernegosiasi dengan cara yang tidak beradab. Tapi, sekali lagi pria itu memperlihatkan kesungguhannya menjanjikan apa yang baru dikatakannya.
"Tapi, kau harus berhati-hati."
"Tentu saya akan berhati-hati, Ki. Saya sudah mendengar semuanya."