*POV Orang Ketiga
Ki Dalang urung merespons. Masalahnya tidak mudah memberikan pusaka kepada seseorang. Apalagi, Ki Dalang tahu bagaimana watak Sumarjo, yang biasa Asu oleh beberapa orang. Sumarjo terlihat grusa-grusu. Penuh ambisi. Pusaka dengan kekuatan tinggi justru dapat membahayakan. Tidak semua pusaka akan langsung cocok dengan pemiliknya. Jika itu terjadi, maka pusaka itu bisa menjadi bumerang Sumarjo sendiri.
Kedua mata mereka masih bertemu pandang. Semangat Sumarjo terlalu berapi-api. Ki Dalang agaknya sedikit ragu memberikan keris Brojomukti itu. Dia mendapatkan banyak firasat saat pertapaannya selama empat puluh hari di lereng gunung. Untuk mendapatkan keris itu juga tidak mudah. Tapi, di sisi lain dia juga merasa harus memberikan keris itu kepada Sumarjo dengan konsekuensi yang buruk di masa depan.
"Rawat keris ini dengan baik. Dan, kau..."
Ki Dalang melontarkan nada lebih serius. "Jangan terlalu berambisi. Turunkan!" sambungnya kemudian.
Sumarjo tidak terlalu paham. Tapi, dia tetap mengiyakan. Mengangguki pesan Ki Dalang dengan sangat mantap. Yang ada di pikirannya sekarang adalah dia nantinya akan tetap bisa menjalankan misinya.
Sampai tiba di kemudian hari datanglah seorang perempuan yang dibawa oleh anak semata wayannya, namanya Hakim. Sesungguhnya Hakim hanyalah menjadi alat baginya untuk menjalankan misi. Berkat bujukannya, Hakim akhirnya berangkat menerima tawarannya bekerja dengan iming-iming gaji puluhan juta. Hakim dan keluarganya yang terdesak ekonomi tidak bisa mengelak kehausannya terhadap keinginan mengubah hidup menjadi lebih baik. Hakim juga diminta untuk mengajak salah seorang teman perempuannya. Maka, Hakim dan perempuan itu pun tiba di tempat yang digadang-gadang akan memberi mereka uang berlimpah.
Tapi, apa yang terjadi kemudian? Hakim murka. Malam itu, dia membuat perhitungan dengan Sumarjo. Yang ketika itu dia belum mengetahui siapa Sumarjo yang sesungguhnya. Tapi bagi Sumarjo, Hakim hanyalah bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa. Hakim yang saat itu berusaha menghabisi Sumarjo, justru harus terikat perjanjian dengan Sumarjo. Sumarjo mengatakan bahwa sebetulnya dia adalah bapak kandung Hakim. Hakim tentu semakin kecewa. Antara percaya dan tidak. Karena yang dia tahu, bapak kandungnya telah lama tiada. Saat itu, Hakim berpikir apakah itu hanya siasat? Tapi, dia akhirnya menghubungi ibunya, lalu dia mendengar semuanya masa lalu ibunya dengan tangis berderai-derai. Lantas Hakim tidak ada pilihan lain selain memenuhi perjanjian itu. Dimana dia harus tetap mematuhi apa yang Sumarjo kehendaki daripada ibu dan keluarganya justru akan mendapatkan masalah besar. Kaitannya dengan nyawa. Hakim membangsat-bangsatkan bapaknya sendiri. Untuk itulah kepada tatkala dia dituduh menipu oleh teman perempuannya itu, dia tidak terima karena sebetulnya dia juga telah tertipu. Itulah kenapa juga dalam beberapa kesempatan dia juga pernah membela perempuan itu di depan Sumarjo. Dia juga pernah cemburu saat pada awal bulan September yang lalu, dia mendapati ada titipan surat untuk perempuan itu. Juga pernah merobeknya, lalu membuangnya ke tempat sampah. Yang sebenarnya terjadi ialah demikian. Dia tidak bisa memperjuangkan perasaannya untuk perempuan itu.
Naasnya, di kemudian hari perempuan itu kabur bersama Ratna. Dan dalam perjalanan pencarian, Sumarjo menceritakan sesuatu. Lalu, saat mereka sudah kembali ke kolong sampah, Sumarjo menunjukkan sebilah keris yang telah dia rawat dan berkomunikasi dengan baik. Tentu Hakim tak bisa mengerti kenapa tiba-tiba Sumarjo menunjukkan itu kepadanya.