*POV Ranaa Hafizah
Keesokan harinya setelah aku tes DNA, setelah semua santri selesai ngaji kitab dasar jazariyah, aku kembali ke kamar pondok. Jika aku terus menyepi, aku justru akan tetap memikirkan ibuku dan hasil tesnya nanti. Hasilnya masih lama. Aku bergabung dengan santri-santri putri yang jadwal piket masak sore di dapur pondok. Di pesantren Al-Furqan ini, selain dibimbing untuk mendalami ilmu agama, santri-santri putri juga dilatih menjadi perempuan yang prigel mengurusi dapur. Satu kamar yang bertugas piket menghandle pondok, dibagi menjadi dua bagian yaitu piket masak dan piket bersih-bersih halaman, perpustakaan, poskestren, dan teras pondok. Jika kamar mandi kotor, santri-santri yang piket pun wajib membersihkan. Tugas santri-santri yang tidak mendapatkan jadwal hanya wajib membersihkan kamar mereka masing-masing.
Aku baru saja mengangkat rebusan daun pepaya yang setelah kuperiksa sudah matang.
"Mbak, parutan kelapanya sudah rampung?"
Mbak Furi mengangguk. "Mbak, nanya dong kenapa pas kamu balik dari ndalem kok nangis?"
"Bumbunya sudah diuleg juga?"
Dia menoleh. Mengarahkan dagunya. "Itu yang ngupas malak pada ngobrol sendiri."
"Mbak, cepetan!" kataku. Lagakku sudah seperti orang profesional saja.
"Bentar, ah. Lagi asik ini."
"Eh, rebusannya uwis (sudah) lhooo."
Mbak Furi bangkit. Tak sabaran melihat kerja mereka pelan. Dia mengambil cobek yang sudah terisi kupasan bumbu.
"Ntoh, ntoh, Mbak Furi ndak sabar."
"Habis situ ghibah mulu."
Santri-santri di depan dapur berisik. Kupikir ada apa.
"Di depan ada apa?" Aku yang hendak duduk membantu Mbak Furi menyiap sisa bumbu yang belum dikupas.
Mbak Furi menggeleng. "Kamu kupas deh. Aku mau ngecek dulu."
Mbak Furi berlari. Belum dia keluar pintu, dia hampir menabrak Gus Fakhar. Teman-teman santri yang terbiasa hanya memakai kerudung sekenanya, alias leher tidak dikancingi, dan yang masih cinceng-cinceng sampai memperlihatkan betis karena habis membersihkan peralatan dapur kotor, mereka merunduk tidak jadi menoleh ke arah Gus Fakhar. Jelas mereka kaget tiba-tiba Gus Fakhar mematung di sana.
Aku menatapnya. Gus Fakhar pun melambai ke arahku.
"Ih, kamu yang dipanggil Gus Fakhar?" tanya Mbak Furi setengah heran.
Aku menggeleng. Tapi, sepertinya siapa lagi kalau bukan aku. Di dapur juga tidak ada Ning Ulya. Aku mendekat ke arah beliau. Langkahku diiringi telisik mata santri yang melihatku sedikit aneh.
"Ada apa, Gus?"
Gus Fakhar spontan meraih tanganku. Menarikku tanpa penjelasan. Aku tidak bisa melepaskan karena genggaman itu cukup kuat. Maka bersamaan dengan itu, kudengar bisik-bisik tak enak seketika keluar dari mulut santri. Lebih-lebih santri-santri yang doyan ghibah temannya sendiri. Jadi seperti kucing yang mendapati iwak asin. Aku ingin meronta, tapi kelihatannya malah tidak baik.
Kami sempat bersimpangan dengan Ning Ulya. Dia yang kemudian langsung melemparkan tatapan tidak suka padaku. Menghardikku dengan sekali pandang. Aku harap Ning Ulya tidak berprasangka terlalu jauh. Aku juga tidak tahu kenapa Gus Fakhar akhir-akhir terlalu frontal padaku. Kemarin tiba-tiba memelukku seperti hendak kehilangan kekasih. Sekarang, malah mempertontonkan langsung kepada santri-santri yang jelas akan menduga-duga. Lumrahnya manusia yang akan mudah sekali menjatuhkan prasangka.