*POV Ranaa Hafizah
"Yuk, kita makan aja. Biar nggak spaneng. Kamu pengen makan apa? Lainnya sate mau? Aku belum pernah makan sama cewek, Iz."
Begitu Gus Fakhar membuka kaca mobil, melihat kafe kecil dua tingkat yang bangunannya mewah berdinding kaca, juga tidak cukup ramai, mobil menepi pelan-pelan. Tidak perlu menyeberang jalan.
Kubuka pintu mobilnya.
Aku menyapu pemandangan malam yang sudah lama tidak bisa kunikmati. Ada benarnya Gus Fakhar mengajakku ke sini. Motor terparkir berderet-deret. Satu satpam dengan seragam duduk sembari asik mengepulkan asap ke udara. Jedum-jedum musik pop terdengar hingga ke luar. Asik juga. Rasanya aku sudah seabad tidak merasakan suasana seperti ini. Bahagia. Tanpa resah.
Kulihat lantai atas lebih sepi. Kursi-kursi yang terlihat dari luar kosong semuanya. Kupikir asik jika bisa makan di sana sembari melihat lalu lalang kendaraan. Juga bebas memandang orang-orang yang hilir mudik keluar dari tempat perbelanjaan, tepat di depan kafe ini.
"Pengen makan di atas?"
Aku menolehnya. Aku mengulum bibir.
"Di bawah apa atas?"
"Mungkin di atas lebih nyaman, Gus."
"Oke." Gus Fakhar mendahului langkah.
Kuperhatikan pakaianku barang sejenak. Kupadankan dengan milik gadis berjilbab yang baru saja keluar dengan laki-laki, mungkin pacar atau suami. Kontras sekali. Baru kali ini aku tiba-tiba memperhatikan penampilanku. Kenapa aku merasa sangat norak alias ndeso sekali? Baju dari Gus Fakhar waktu itu akhirnya tetap diberikan padaku, tapi belum pernah kupakai.
"Mungkin aku lebih cantik kali, ya, kalau memakai gamis itu?" pikirku.
Alas kakiku juga hanya sandal jepit. Dari dulu aku tidak pernah mempedulikan penampilanku.
"Kok bengong?"
"Oh."
Aku melangkah.
"Kenapa?"
Aku menggeleng.
"Malu?"
"Tidak, Gus."
Gus memperhatikanku sejenak. Mengerutkan alis. "Harusnya kamu pakai gamis dariku yang waktu itu."
Gus Fakhar kembali melangkah.