*POV Ranaa Hafizah
Gus Fakhar memintaku membawa tas kresek yang dipegangnya. Aku menolak, tapi tatapannya memaksa. Aku disuruh mengatakan dengan jujur jika dialah yang membelikan. Sepertinya aku akan jadi topik pembicaraan para santri pekan ini. Belum juga kelar huru-hara tadi pagi. Setelah aku keluar dari pondok cukup lama dengan Gus Fakhar, pulang-pulang aku membawa barang belanjaan. Aku menghela napas sembari menyisih dari sisinya. Senyum lebar itu hanya kubalas senyum tipis. Ya sudahlah. Hadapi saja.
Kupikir aku bisa menyelinap dengan aman sesaat setelah kembali. Ternyata jegiatan malam ini free. Para santri bersimbah di aula seperti barang tak berguna. Mereka melakukan sembarang hal, mulai dari yang paling berfaedah sampai unfaedah. Berderet-deret membuat barisan sambil pijat-pijatan. Deretan lainnya ada delapan orang saling menyibak rambut kawan depannya, nyari kutu. Beberapa juga ada yang berteriak mengatakan mie instan sudah siap. Gara-gara mulut yang ingin disumpal dengan makanan, tapi semua yang dimasak oleh santri piket sudah habis. Mie dalam baskom besar itu diletakkan di lantai. Seketika disambut dengan gembira.
"Aku pok o yo pengen kilo." Dia mendesak kerumunan.
Terjemah: (Aku dong juga mau lo)
Yang lainnya ada yang menawarkan biskuit kelapa yang bungkusannya warna merah. Juga biskuit abon. Sebagian yang baru icip mie instan langsung menyerobot satu bungkus biskuit abon. Membuka bungkusnya sambil menunjukkak ekspresi kepedesan.
"Joooh iki lomboke sak bakul dikabehne opo piye? Pedese koyo demet."
Terjemah: (Joooh ini cabenya setoko dimasukkan semua apa gimana? Pedasnya kaya setan)
Aku dihadang. Mbak Furi dan yang lainnya seperti satpam. Aku dilarang masuk kamar sebelum aku menjelaskan dari mana. Mereka pasti tidak tahu kalau aku sudah diizinkan. Mereka tahunya aku bolos atau semacam kencan. Tak heran kalau aku dibicarakan. Mana ada santri keluar sampai malam. Kembali membawa baju seperti habis berenang-senang.
"Mbak, aku ngantuk."
Aku memaksa menyingkirkan lengan kanan Mbak Furi yang dibentangkan, menghadang pintu.
"Ogah. Apaan itu yang kamu bawa?" tanya Mbak Furi.