*POV Ranaa Hafizah
Sudah lama aku tidak bertemu dengan Ratna. Kangen. Seperti ada keadaannya? Aku berharap dia sudah benar-benar sehat. Tapi, kapan aku bisa bertemu dengannya?
"Ngapain bengong di situ?"
Santri putra berhamburan dari kamarnya. Gus Fakhar kulihat membawa kitab kuning di tangannya, sama seperti yang dibawa para santri. Ketika abah sudah sayah (capek) sering ceramah di luar, siapa lagi badalnya kalau bukan Gus Fakhar.
"Gus, saya ingin ketemu Ratna. Apa bisa?"
"Nanti habis ngaji aku antarkan. Aku juga mau ke konveksian ngecek pesanan. Sekalian ikut aja, ya. Aku mau ketemuan juga dengan Mbak Ala dan Mas Rayyan."
Aku mengangguk. Lalu, aku menepi. Berjalan menyisiri halaman. Santri putra masih berjingkat-jingkat menuju musala. Mereka sesekali melirikku. Aku tak segan melempar pandangan. Tapi, bukan untuk membalas tatapan itu. Aku hanya membayangkan hidup di pesantren ini. Tinggal dengan status yang bukan santri lagi. Aku akan diperlakukan seperti apa?
Santri yang belakangan masih sibuk menguap. Membenarkan sarung yang hampir melorot. Dia kelihatannya tak begitu bersemangat. Lalu, menata sandal kawan-kawannya. Duduk sebentar seperti memikirkan sesuatu. Dia kira-kira usianya masih dua belas tahun. Tampak masih anak-anak. Tak lama kemudian dia bangkit seraya menguap sekali lagi. Pakaian putihnya lusuh tak pernah disetrika. Sarungnya bagian belakang sudah ngepir.
Pucuk merah di depan ndalem sudah agak rimbun daripada ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di pesantren ini. Aku dan Mbak Ufi telaten menyiramnya setiap pagi dan sore. Juga tanaman-tanaman lainnya. Meski beberapa bulan terakhir orang-orang sangat menggemari tanaman, di depan ndalem ini sudah penuh dengan tanaman sejak dulu. Keluarga ndalem menyukai bukan karena ikut trend. Aku leyeh-leyeh di depan ndalem setelah ikut kegiatan murajaah dua juzan bersama-sama. Aku siap berangkat. Tapi, kegiatan santri putra belum rampung.
"Iza?"
Aku menoleh. "Nggeh, Bu Nyai?"
"Ojo lali. Mengko hasil tes DNA metu. Tapi, bene Fakhar sing mundhut."
Terjemah: (Jangan lupa. Nanti hasil tes DNA keluar. Tapi, biar Fakhar yang mengambil)
"Nggeh. Bu Nyai, ngapunten saya izin keluar menemui Ratna di Darul Amin."
"Ngopo, Nduk?"
"Kangen, Bu Nyai."
"Woalah. Nggeh ndak opo-opo. Nyuwun tulung Kang Bimo kenek, Nduk."
Terjemah: (Woalah. Iya tidak apa-apa. Minta tolong Kang Bimo bisa, Nduk)
"Tadi Gus Fakhar menawari ingin mengantarkan saya, Bu Nyai."
Sebetulnya pada posisi seperti ini aku tidak akan kesulitan jika ingin pergi ke mana saja. Bu Nyai Ridhaa tentu sudah tidak mempermasalahkan lagi kedekatanku dan Gus Fakhar. Aku ingat sesuatu. Tapi, harusnya Ning Ulya juga tahu soal ini karena hari pernikahannya semakin dekat meskipun persiapannya belum kudengar.
"Nduk, Ummik nyuwun dongane mugo-mugo riyadohane Mbak Ulya lancar, Nduk."
Terjemah: (Nduk, Ummik minta doanya semoga tirakatannya Mbak Ulya lancar, Nduk)
"Alhamdulillah. Insyaaallah saya doakan. Sudah khatam, Bu Nyai?"
"Wis ket seminggu wingi."