*POV Fakharuddin Akhyar Al-Ameen
Saat angin sore sedang bernyanyi. Mengajak pucuk-pucuk merah agar ikut beriang gembira seperti orang menggeleng dan menganggukkan kepala. Selembar daun jati jatuh dari ketinggian, mengalah pasrah hingga jatuh menghantam tanah basah yang tengah diguyur rintik-rintik hujan. Sebagian halaman masih ditimpa bayang-bayang pepohonan. Angin mengudara semakin kencang. Rintik-rintik pun tak lagi mengarah vertikal. Terombang-ambing ke kanan kiri. Daun jati tadi berpindah posisi. Muncullah garis setengah lengkung di sudut barat langit. Ada pelangi di sore hari.
Kuambil hasil tes DNA itu sendirian. Kunaiki mobilku tanpa Kang Bimo. Kang Bimo harus menjemput seseorang menggunakan mobil abah. Tepat pukul setengah lima sore, setelah aku memutus kegiatan yang masih berlangsung, aku meminta para santri agar melanjutkan kegiatan sampai setengah jam lagi. Aku terburu-buru. Aku tidak ingin membuat semua keluarga menunggu.
Aku gusar sendiri. Semula aku tidak sepenuhnya yakin. Tapi, sebagai laki-laki aku tidak mungkin enggan mengakui bahwa aku memang telah salah mengartikan perasaanku sendiri. Aku sudah sepenuhnya siap menyambut semua kemungkinan terbaiknya. Semua orang yakin. Dan, kali ini aku sudah yakin bahwa aku tidak salah sudah menunjukkan sinyal kedekatanku, lalu memperlihatkannya pada seluruh santri.
Tiba di rumah sakit ba'da magrib. Mumpung masih baru beberapa menit selesai kumandang azan, aku menunda salat. Aku harus segera menemui petugas laboratorium terlebih dahulu. Kupercepat langkahku. Hatiku merajuk tak sabar. Menyuruhku berjalan dengan langkah lebih panjang. Di depan pintu lab, aku membuka pintu kacanya pelan-pelan. Kuedarkan pandanganku ke sembarang orang yang duduk-duduk di dalam. Yang berkepentingan denganku langsung melambaikan tangan. Dia menuju ke arahku sembari membawa hasil tes DNA itu.
Kuterima amplop itu dengan getar dada yang tak keruan. Ingin kubuka di tempat. Tapi, akan lebih baik jika aku membukanya di rumah supaya rasa penasaran ini tuntas bersama-sama. Jika ternyata benar, semua orang bisa mereguk kebahagiaan itu tanpa celah.
"Terima kasih banyak, Pak." Aku menjabat tangan itu.
Aku segera pulang. Aku tidak akan mampir ke mana-mana. Semua orang sudah menunggu dan semuanya telah dipersiapkan. Kumasukkan amplop itu ke saku jas. Keluar dari halaman rumah sakit, kulihat masih ada satu toko bunga yang masih buka. Aku turun sebentar. Aku menyuruh penjualnya supaya mengikatkan dua puluh lima tangkai bunga mawar putih, tiga bunga mawar merah, dan lima bunga krisan putih.
"Buketnya yang cantik ya, Mbak. Buat orang spesial itu."
"Oke, Mas."
Aku menunggu lima belas menit. Tapi, rasanya sudah seperti satu jam. Aku bersandar di badan mobil sembari merasakan gerak kaki yang tidak bisa diam. Gerak kinestetik otomatis.
"Ini, Mas. Seratus delapan lima."
Kuberikan dua lembar uang merah. "Ambil saja kembalinnya, Mas." Lama kalau harus menunggu kembalian. Aku terburu-buru sampai lupa berterima kasih.
Al-Furqan hening. Juga gelap. Cahaya lampu di halaman pesantren mungkin salah satunya rusak. Hanya empat yang menyala. Dua di antaranya lampu musala dan ndalem.