Gadis Kolong Sampah

Kuni 'Umdatun Nasikah
Chapter #145

Permata Hati

*POV Ranaa Hafizah


Aku hanya menurut ketika Mbak Ufi dengan tergesa-gesa menyuruhku segera beranjak dari kamar. Dia juga memaksaku agar sedikit memoles wajah dengan bedak. Dia juga menanyaiku apakah aku sudah mandi. Dan, aku memang sudah mandi sejak tadi.

"Pokoknya aku seneng banget hari ini. Kapan-kapan aku mau masakin kamu menu paling spesial, Mbak. Pokoknya kamu tenang. Tenang gitu lo. Ini bukan kabar buruk."

"Hasil tes?"

"Iya dong. Semua orang sudah kumpul di ruang tamu. Yok!"

Aku tidak tahu kalau yang berkumpul di antara mereka, salah satunya adalah ibuku. Kapan ibuku datang dan siapa yang menjemputnya ke sini? Mungkin datang bersama Nyonya Syawa dan Tuan Kabi? Ibuk hanya menatapku, tapi tak berani membalas sapa senyumku. Ibuku menunjukkan wajah paling sedihnya.

Sementara itu, Gus Fakhar bangkit. Melakukan adegan yang sama dengan waktu itu. Dia memelukku. Kali ini di depan orang banyak. Dia mencium pipi kanan kiriku, laluĀ ubun-ubunku. Memelukku sekali lagi.

"Semoga Allah memberkahi Adikku yang paling cantik ini." Dia memencet ujung hidungku.

Meski wajahnya sangat antusias, tapi fokus pikiranku masih kepada ibuk.

Tuan Kabi memanggil Gus Fakhar. Dia mengangsurkan buket bunga Gus Fakhar tadi.

"Buat kamu. Pasti suka, kan?"

Aku mengangguk. Buket itu memang sangat indah.

"Kamu mau baca hasil tes DNAnya?"

Aku mengangguk.

Gus Fakhar memintaku supaya duduk. Tangan kanan Bu Nyai Ridhaa mengelusi paha kiriku. Berkali-kali melempar senyum terindah. Kuncup mawar merekah di bibirnya. Yang tidak tersenyum hanyalah ibuku dan Ning Ulya.

Aku membacanya dengan saksama. Ya, tidak ada kesalahan di sana. Teknologi telah berbicara. Hasil itu membuat semua orang yang ada di ruang tamu ini percaya. Kutoleh Bu Nyai Ridhaa. Aku memang harus menunjukkan hormatku pada ibu kandungku. Juga pada bapak kandungku, Kiai Bahar. Aku sungkem bergantian pada mereka. Untuk pertama kalinya Kiai Bahar memelukku.

"Abah, Ummik?" Bu Nyai Ridhaa sampai meneteskan air matanya saat panggilan itu keluar dari mulutku. Tapi, aku masih merasa aneh dengan panggilan itu. Karena aku belum terbiasa saja.

"Apa, Nduk?"

"Apa saya boleh tidur di pondok saja?"

"Lha ngopo, Nduk?"

"Hmm..." Aku menundukkan wajah.

"Gak opo-opo. Ya sudah sampeyan turune neng pondok gak opo-opo."

Lihat selengkapnya