*POV Ulya Kamala Shansa
Aku bingung kenapa tiba-tiba diminta ummik berkumpul dengan semua keluarga di ruang tamu. Hanya akulah yang awalnya tidak ikut tegang saat ummik membuka hasil tes DNA itu. Aku juga bertambah bingung ketika Gus Fakhar menyuruh Mbak Ufi agar memanggil Tsaniya. Kupikir siapa Tsaniya yang dimaksud? Iza yang akhir-akhir ini membuatku jengkel dan cemburu, dia ternyata adalah Tsaniya? Aku belum bisa menelaah. Dan, hanya akulah yang tidak mengharu biru. Tapi, aku ikut bertahmid.
Siapa sangka putri ummik, adik Gus Fakhar yang pernah hilang tujuh belas tahun lalu, kini ditemukan dalam wujud seorang gadis yang rupanya telah lama tinggal di pesantren ini. Kebenaran itu datang dengan sendirinya. Berkat kesabaran ummik dan abah selama ini. Tapi, aku menjadi ingin menertawakan diriku sendiri. Ternyata aku cemburu pada calon adik iparku sendiri. Aku merasa telah ditipu oleh keadaan. Bukannya Gus Fakhar justru malah sudah jatuh cinta pada adiknya sendiri? Aku benar-benar ingin menertawakannya.
Sayangnya tidak ada yang sempat mengabadikan momen berharga ini. Semua orang menikmati tangis dan kebahagiaannya masing-masing. Aku memperhatikan wajah ummik dan abah yang tidak pernah sebahagia ini. Mereka amat semringah. Walau mereka menangis, tapi nikmat karunia ini begitu besar. Bahkan, aku disuruh menerjemahkan kebahagian itu, mereka berdua bingung bagaimana caranya mensyukurinya. Lantas ummik berencana mengadakan syukuran atas kembalinya Tsaniya ke pesantren ini.
Saat Tsaniya berbincang dengan ibunya, barulah aku ikut merasakan haru. Wajah ibunya yang telah bersimbah dengan air mata memaksaku mengiba seketika itu. Tak kubayangkan bagaimana rasanya. Tujuh belas tahun membesarkan, lalu akhirnya harus melepaskan. Siapa sangka juga bahwa Izalah Tsaniya yang selama ini dicari-cari. Peluk hangat mereka berdua membuat air mataku luruh. Setelah aku menikah dengan Gus Fakhar, begitulah nanti perasaan abahku. Ya Allah, bahagia sekali aku. Sebentar lagi pernikahanku akan digelar.
Kegiatan ba'da isya diliburkan. Para santri bersorak. Langsung ke kamar melakukan aktifitas sembarangan. Gus Fakhar menghadang dua santri. Menyuruhnya untuk menggelar karpet di teras. Akan ada pesta bakar jagung, sosis, dan ayam. Kang Bimo dan dua pengurus lainnya sudah membelikannya sejak sore tadi. Tidak ada santri putri yang dilibatkan. Dua santri itu menggelar karpet di teras. Bantal-bantal di ruang tamu dibawa keluar. Abah dan ummik lebih suka duduk dengan bantal itu.
Abah dan ummik duduk bersandingan. Begitu juga Tuan Kabi dan Ibu Syawa. Tsaniya ada di sebelah kiri ummik, tapi sekarang sedang berpegangan tangan dengan ibunya. Mbak Ufi wira-wiri menyiapkan bumbu yang diperlukan. Sementara, aku duduk di sisi kanan Gus Fakhar.
"Gus, ceritakan yang sebenarnya?" Aku menagih janji.
"Tsaniya dan Iza punya tanda lahir yang sama. Lalu, Tuan Kabi dan istrinya itu datang tiba-tiba menjadi petunjuk. Dulunya Tsaniya dicuri, lalu dijual kepada mereka berdua. Mereka berdua malah membuang Tsaniya di depan rumah ibunya Tsaniya. Ibu Mini namanya. Kejadiannya saat di Madura. Intinya begitulah." Gus Fakhar menjelaskan serampangan. Tidak begitu niat membuatku segera mengerti. Lantas aku hanya menebak-nebaknya kemudian.
"Gus, doakan tirakatanku lancar, ya."
"Aamiin. Kurang berapa hari?"
"Masih dapat dua minggu. Masih lama."
"Hari ini udah nderes berapa juz kamu? Nanti bisa rampung 30 juz nggak?"
"Kalau nggak tidur, ya, insyaallah rampung."
"Betah?"
"Kalau kepepet kudu dibetah-betahkan."
"Nggak apa-apa kalau mau lanjut deresan."
"Iya, Gus. Agak nanti."
"Lusa kan ada syukuran. Kamu nggak ikut?"